Labels

Monday, June 2, 2014

Korpus Korupsi

Kita gemar mengutuki pidana korupsi. Menurut survey dari sumber yang tidak kredibel tapi saya ga punya waktu lain untuk mencari sumber yang lebih kredibel sebanyak 52,4% dari 8000 responden bahkan mengatakan hukuman mati adalah hukuman yang pantas untuk pidana korupsi. Tingkat kemurkaan kita pada korupsi. Kenapa korupsi? Kenapa bukan tindak kejahatan lain? Entahlah. Mari tidak mempertanyakan motif ketikan gerakannya baik. Dan isu korupsi, pemberantasan korupsi atau bahkan hanya sebatas keterlibatan korupsi dan kemungkinan korupsi menjadi salah satu bahan pertimbangan di masa pemilihan ini.

Tapi terlepas dari itu, korupsi di Indonesia menurut saya sudah lebih dari batas korupsi personal. Korupsi yang terjadi bukan hanya karena ingin dan ada kesempatan. Tetapi karena harus. Ya, korupsi yang terjadi adalah korupsi sistemik. Indeks persepsi korupsi Indonesia, yang kalau disingkat IPK, ouch, adalah peringkat 114 dari 177 negara. (www.transparency.org). Dengan nilai 32 dari seratus. Indeks persepsi korupsi ini adalah angka penilaian terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh sektor publik di suatu negara dinilai dari besar, jumlah kasus, dan dampaknya. Dan Indonesia adalah 30% terbawah. Kalau dikelas yang isinya 40 orang kita peringkat 27-28. Ga akan dapat SNMPTN Undangan. Di negara yang sila pertama landasan idiilnya bunyinya "KETUHANAN YANG MAHA ESA".  Ya begitulah.


Korupsi sendiri menjadi kabur batasannya di kehidupan sehari-hari. Bukan-bukan karena korupsi tidak jelas definisinya. Coba tanyakan pada diri masing-masing apa definisi korupsi? Di UU no 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Korupsi unsur korupsi ada 3 yaitu : 1. menggunakan jabatan. 2. Memperkaya diri atau golongan. 3. merugikan negara. Definisinya cukup jelas. Tapi yang terjadi adalah pemakluman dan pembiaran. 

Dimulai dari hal kecil, pembiaran terhadap korupsi banyak terjadi. Malah mungkin kita yang lakukan. Saya, pribadi, kemudian tanpa sadar juga telah beberapa kali melakukan dan menyaksikan tindak korupsi.

Contoh kecilnya misalkan dulu, ibu saya pernah menjabat sebagai wali kelas di SMA. Pernah, suatu hari sepulang kerja ibu saya membawa buku komik. Yang ketika ditanya dari mana adalah hasil sita dari anak muridnya. Komik itu saya baca dan tidak pernah dikembalikan. Meski sekarang juga sudah lama tidak bisa ditemukan. 

Dari jenis kegiatannya, tiga unsur korupsi sudah dipenuhi. Ibu saya sebagai wali kelas, menambah kekayaannya sebanyak satu jilid komik yang seharusnya menjadi milik institusi negara yaitu sekolah. Tapi ya yang ibu saya lakukan berdasar hukum. Membawa komik memang melanggar aturan sekolah dan menjadi tugas ibu saya sebagai walikelas untuk melakukan penyitaan. Kendalanya adalah tidak pernah ada penampungan untuk barang-barang sitaan di sekolah. Dan tidak pernah ada yang menanyakan kemana semua barang sitaan itu. Tidak ada instrumen kontrol di sekolah. Karena itu ibu saya tanpa sengaja, ya saya sudah pastikan dulu dengan bertanya kenapa dibawa pulang? , tanpa sengaja membawa komik itu kerumah. Sekolah secara tidak langsung membuat sistem yang mengizinkan terjadinya korupsi. 


Kondisi tersebut boleh jadi memberi gambaran mikroskopik terhadap lanskap kelembagaan negara kita. Saya memberi contoh lain. Dari sumber yang patut dipercaya tapi minta dijaga kerahasiaannya. Beberapa waktu lalu, kepala-kepala sekolah di DKI Jakarta dipanggil oleh Badan Pengawas Keuangan. Alasannya dianggap menyelewengkan uang negara. Kenapa bisa? Jadi mulai tahun ajaran 2012 lalu, sekolah dilarang memungut biaya apapun dari muridnya. Kebijakan gubernur yang disambut baik oleh masyarakat. Apalagi tahun 2013 ada pemilihan :p. Nah untuk itu sekolah hanya mengandalkan bantuan operasional sekolah (BOS) sebagai anggaran rumah tangga sekolah. Kebijakan yang agak jahat sebenarnya. Tapi itu untuk pembahasan lain waktu kalau ingin.

Jadi Dari BOS itu ada juklak yang harus ditaati. Ada pagu untuk tiap komponen. Nah besaran pagu yang diberikan terkadang tidak bisa dimanajemen dengan baik dan tepat untuk kepentingan sekolah. Misalnya saja, di komponen tidak ada tunjangan untuk wakil kepala sekolah. Memang wakil kepala sekolah bukan jabatan resmi. Diknas hanya mengeluarkan SK untuk kepala sekolah. Tapi jobdesc untuk kepala sekolah dianggap tidak bisa diselesaikan oleh satu orang saja. Untuk itu Kepala Sekolah menunjuk wakil-wakil kepala sekolah. Yang umumnya bisa sampai 3-4 bidang. (Bidang Kurikulum, Sarana, Umum, Kesiswaan, atau terserah kepala sekolah). Nah, kemudian wakil kepala sekolah ini juga terkadang menunjuk staff dari guru. Masing-masing wakil dan staf tersebut memiliki tugas tambahan dari guru biasa. Agar mau merelakan waktunya untuk melakukan tugas tambahan tersebut, tentunya dibutuhkan insentif karena mereka bukan mahasiswa yang mau melakukan kegiatan ekstra tanpa dibaayar. Karena tidak ada komponen untuk tunjangan posisi wakil maka banyak kepala sekolah mengambil biaya dari komponen lain. 

Selain itu banyak juga keperluan misalkan untuk pembayaran fasilitas media, fasilitas guru yang patut dilaksanakan tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan di komponen yang terdapat pada juklak BOS. Juklak bos dapat dilihat sepenuhnya disini . Nah karena itu saat ini , banyak kepala sekolah yang dipanggil untuk mempertanggungjawabkan dana-dana yang tidak sesuai dengan pengeluaran di Juklak BOS. Lebih kasihannya, banyak kepala sekolah itu adalah kepala sekolah baru akibat lelang jabatan yang dilakukan pemda. Belum ada kabar terkini mengenai nasib kepala sekolah tersebut, apakah dapat dipidanakan sebagai tindak korupsi atau tidak. Tapi saya dengar beberapa kepala sekolah sudah diminta mengembalikan Dana BOS yang tidak bisa dipertanggungjawabkan itu sebesar beberapa miliar.

Poinnya adalah, hampir jika tidak seluruh, kepala sekolah di DKI melakukan praktik perubahan dana seperti itu. Mungkin memang tidak ada maksud memperkaya diri, tapi yang dimaksudkan bisa jadi ada ketidaksengajaan dalam penyelewengan uang negara yang bisa jadi digolongkan sebagai tindak korupsi. Sekali lagi karena sistem yang absurd, dan karena pemakluman.

Alasan pertama, alasan sistem. Beberapa orang yang duduk di pemerintahan bisa jadi bukan bertujuan untuk melakukan korupsi dalam sistem. Tapi sistemnya yang mengkorupsi mereka. Salah satu program Kementrian Agama misalnya untuk reformasi birokrasi di pelaksanaan haji. Ada pejabat negara dengan wewenang yang cukup besar mundur beberapa waktu lalu untuk fokus menghadapi kasus hukum yang meski belum sampai tapi niscaya akan tiba. Orang yang padahal menurut saya orang baik. Pandangan subyektif tapi. 

Alasan kedua, rasionalisasi. Ini. Ini adalah masalah paling sulit dalam memberantas korupsi. Pemakluman membuat budaya korupsi sudah mendarah daging. Misalnya saja, ayah saya dulu sering membawa pulang kertas dari kantor , untuk keperluan print dirumah. Itu menurut saya sih korupsi. Tapi selalu ada rasionalisasi. " Cuma sedikit " , " kalau mau dipakai diganti" nyatanya apakah sedikit? Sering kok. Apa diganti? Ngga pernah. Dan berapa sih diantara kita yang menambahkan nominal di kuitansi PKMP? Atau bahkan membuat kuitansi ketika ada kepanitiaan tertentu? Hati-hati dengan rasionalisasi teman-teman.

Dan kita sudah sampai di akhir tulisan ini teman-teman. Bagaimana mengurangi korupsi. Bagaimana membunuh badan korupsi? Untuk bagian pertama, untuk mereformasi sistem. Saya juga sudah tidak punya akal bagaimana untuk merombak sistem yang sudah sedemikian korupnya. Banyak orang baik yang masuk kedalam sistem bertujuan untuk merubah hanya untuk kemudian dirubah oleh sistem. Dan kenapa orang mau membuang-buang rupiah untuk menjadi pembuat kebijakan jika tidak mengharapkan semacam imbalan darinya? Legislator menjadi semacam pekerjaan investasi. Sebuah bacaan dari wartawan di Philippine Daily Inquirer, Randy David, mengatakan satu-satunya cara mengurai korupsi sistemik adalah dengan mengecilkan hasil yang bisa didapatkan ketika menjadi legislator ataupun eksekutor di pemerintahan dan juga mengurangi biaya pemilihan umum. Sehingga pemerintahan dapat memiliki urgensi dan fokus yang dibutuhkan untuk membuat kebijakan dengan tulus. Tapi, dia juga menambahkan bahwa untuk sekarang tidak mungkin mengharapkan pemerintahan yang sekarang mengkhianati sistem yang memupuk dan mendadak mendengarkan nurani mereka. 

Meski, lanjutnya, kekuatan publik makin kuat untuk melakukan kontrol dan juga banyaknya usaha transparansi untuk menelanjangi pemangku jabatan yang korup. Salah satunya ya dengan media sosial. 

Namun untuk bagian kedua, kita bisa mulai dari sekarang untuk tidak merasionalkan korupsi. Untuk katakan tidak pada korupsi *digampar. Kita sudah tahu definisi dari korupsi, dan tindakan apapun itu yang menyerempet kepada tiga unsur korupsi jangan pernah berikan benefit of doubt. Bisa jadi masing-masing orang punya persepsi sendiri terhadap apa yang dimaksudkan dengan memperkaya diri dan merugikan negara. Tapi hukum dengan kekuatannya yang mengikat disumberkan dari norma. Norma pun bersumber dari nurani. Nurani setiap orang berbeda-beda akan apa yang dinamakan korupsi. Tapi apalah gunanya hukum jika kita masih punya pikiran "kembali ke orangnya masing-masing sih". Karena kekuatan hukum berlaku untuk semua yang ada didalam yuridiksinya, sedapatnya nurani si pribadi menolak definisinya. Jadi jangan sampai nanti ditangkap karena "saya ga tau itu korupsi" ya. 


No comments:

Post a Comment