on my way to where i parked my bike tonight , i saw long line in station parking exit. i took time to check my phone and hoped the line died down a little before i went out. the line got longer instead.
"there must be something wrong with the tap machine at the gate" i thought. it is usual in pocin station after all
turned out the network was down so the tap machine couldnt work. we have to pay in cash instead.
disappointed bcs it happened all too often, kinda pissed for wasting 20 minute in line, and desire to do something mischievous. i decided to goad the staff a bit.
i told them i dont have cash since i always use my emoney.
"you have to paid in cash tonigjt sir. the network is broken", the staff replied. no humility. no apology.
"how if i dont have any? can i withdraw some cash in atm nearby?" nope. i have the money in my pocket.
"but you have to pay in cash" . it started to look like not only the machine that broken since he just repeating stuffs.
for purely my amusement i goaded him further " i dont have any. can i pay tomorrow? it wasnt my fault the machine broke."
he snapped, angrily " it wasnt my fault neither"
and thats how it went. i paid twice amount needed and left without the change.
thing is, when you work in service, you dont get angry at your consumers. let alone shifting the blame. i know he received a lot of complain that night. and he is equally frustrated that the machine broke time and time again even if it wasnt his fault. but i, likewise all other people, consider him reska staff. and it is reska's fault that we cant use tap machine. regardless whose responsibility it is.
i dont know the it guy. it would waste my time to get to meet his shift manager. reska's waste my time. he is a reska's staff. i asked his responsibility. and the inability to give proper response doesnt count only for him. but inform me how unsatisfactory reska's services are.
note to self is, mind yourself. especially at work. because it is not only your brand that you represent. basically we all offering our services to company, to our bosses, to coworkers from other department. at times we have to clean other person shit and apologize for things that isnt our fault. but focus on things you can control and let go things that you cant.
Sometimes, you just know that your opinion is completely in
line with the facts. Sometimes, all evidence point out to your beliefs.
Sometimes, the people you talking with are talking nonsense. Sometimes, they
even willingly take stupidness mantle and wear it, proudly.
Naturally, we argue. We raise our voice, we go to overdrive
to deliver our points. They retort and push you back. And you go even
further.
It feels good to be right. Even the most timid and shy of
man get some degree happiness from being right about his opinion, value, or
beliefs. It is almost addicting to win an argument , isnt it?
But what cost do we pay to feel good really?
Truth, while should be universal can be intepreted
differently. There isnt any fallacy in
that truth. The fallacy is in us. We are too young, too limited to understand
the whole concept of truth. We just know what we beliefs. And who to say that
all of us were not right?
I remember few years back, the internet went mental with the
black-blue dress / white-gold dress photo. You know, the photo of dress that
the colour is different for whoever see it. For the first few days it is
unacceptable for us to have people that have different saying about the colour
of the dress. It wasnt make sense for me too , initially. The colour of the
dres should be simple fact that cause no dissent in opinion. But science
explain, that our limitation in intepreting visual fact and point of view are
valid reason we have different opinion.
the said dress
If such simple picture can deceive us, then what are more
complex things capable of? We dont argue about the dress that much and accept
that while we have difference, we all are right. So why does it matter so much
for us to argue about our beliefs? I mean, if we believe in God , omniscience
and omnipresence, sit in his arasy, his throne somewhere, does it matter that
much where He is sitting at?
Just like the dress, it is not that God mislead us
intentionally by giving each one of us different beliefs. It is just us, who
too limited to understand after all.
Then again, just like i convinced my friend that i see
white-gold dress. I want them to accept that as fact too. But if they wont, i
know their beliefs is not wrong either. Because my beliefs tell me that being
mean, even it is about my truth, my fact, my value, and my beliefs are not
allowed.
I was told to be nice. I was told to treat other with
kindness whatever they beliefs are. I was told to speak good or speak nothing.
I was told to love, not to hurt others. And doing contrary, that by fighting about
same piece of truth would only let my beliefs and my God down.
Because in the end, the truth is not going anywhere. Beliefs
are personal. No matter how many people accept, it will always be the truth. No
matter how many people see the dress the same colour as me, it will always be
white gold to me. But being right is not as important anymore. And then the timid and shy self of me stop caring about
winning argument.
Wohoo, trying to get back here after a long freakin while.
*dust off this silly blog.
As part of my “New Year Resolution” , and “24th year Old
Manifesto” (yeah cliche but i am gullible for falling for that kind of stuff) i
will try to write again. Yeay, cheers .. i guess?
As part of my hopefully full-time comeback, what better than
to write about something that so trending right now. Something that so
coincidentally very close and personal to me. Something that makes me so
righteous that i have to chime in with my useless opinion from my high place.
Thats right , you bet it is, we are going to talk about that fight between Nassar and Dewi Persik.
...
..
Just kidding. Nah. We are going to talk about that something
that you might already guess from that one pharagraph above. But to make it
more enigmatic, more cryptic, more pointless, and more me-esque, i will write
it in allegory form. I will write it in a free-verse writing full with
incomprehenible simile .
Disclaimer : because this is my first writing in a while,
the grammar will be less then appropriate. I wont do any proofreading, since it
will obstruct the flow of the story usually, and since it is freakin 1 AM and i
want to sleep. Please do point out mistakes without having to feel like grammar
nazi. That’s the only way to make me better.
Sekarang, saya bekerja di kantor yang ada di Daerah Thamrin. Setiap hari berpergian dengan menggunakan kereta.
Sebenarnya masih terjangkau kalau mau menggunakan motor. Tapi karena malas
bermacet-macet setiap hari saya naik motor hanya sampai Stasiun Pondok Cina,
dan lanjut naik kereta. Hampir setiap hari juga saat berangkat saya mampir ke pemukiman yang
tidak jauh dari Pondok Cina. Ngapain? Ehm .
Pintu masuk menuju pemukiman tersebut melewati kampus saya.
Atau mungkin sekarang jadi mantan kampus. Eh engga, saya mantan mahasiswa di
kampus itu tapi kampus itu ga jadi mantan kampus saya. Atau iya ya? Itu saya
juga kurang paham aturan perbahasaannya.
Tapi intinya adalah di gerbang masuk ke pemukiman itu , yang
biasanya bebas dilalui kendaraan, akan ditetapkan aturan baru yang membuat gerbangnya jadi satu
arah. Peraturannya kira kira begini “ Mulai tanggal sekian gerbang ini khusus
dilalui sebagai gerbang keluar. Untuk gerbang masuk bisa menggunakan gerbang
yang ada di sana “ merujuk pada tempat lain yang jaraknya 500 meter dari
gerbang keluar. Peraturannya resmi. Ada cap kampusnya juga. Sebagai orang yang
tersistematis, yang selalu bangun di jam sama , berangkat di jam yang sama, dan
naik kereta di jam yang selalu sama agar sampai di kantor selalu tepat, tepat
jam masuk, tentunya perubahan waktu yang diakibatkan rute yang geser ini akan
berakibat panjang. 500 meter di jalan kecil itu setara dengan 5 menit yang
artinya saya harus ketinggalan kereta dan telat. Setiap hari. Ya tinggal bangun
lebih pagi sih tapi itu ga tinggal.Ga tinggal mas..
Tapi gapapa , supaya kampus lebih tertib dan terhindar dari
cabe-cabean yang menyerang ini perubahan ke arah yang lebih baik kok. Jadi kalaupun saya harus muter tiap pagi melalui rute yang lebih panjang, atas nama kebaikan dan kesejahteraan umum saya ikhlas.
Tapi yasudah, beberapa hari sebelum peraturan itu efektf
saya mencoba menghitung berapa lama pergeseran waktu yang dibutuhkan dengan
rute baru tersebut. Saya masuk lewat gerbang masuk dan keluar lewat gerbang
keluar. Sesuai peraturan baru. Semacam simulasi untuk ngukur waktu dan berapa menit saya harus bangun lebih awal. Wah lumayan juga, bisa 7-10 menit.Tapi tak apa, demi kebaikan dan kesejahteraan umum.
Eh tetapi pada hari pertama efektif peraturan tersebut
karena saya bangun kesiangan, saya jadi ga mampir ke pemukiman-dekat-kampus itu
deh, Ehm. Jadi langsung menuju stasiun. Sebagai gantinya saya mampirnya saat pulang kerja. Masuknya lewat
gerbang yang harusnya adalah gerbang keluar, karena gerbang masuknya itu lebih jauh dari stasiun dan tempat yang mau saya mampirin juga lebih dekat dari gerbang keluar. Gapapa juga. Banyak yang lewat juga. Mungkin karena sudah malam jadi longgar
peraturannya. Hari pertama juga mungkin masih masa percobaan.
Tapi besoknya, pagi saat saya mampir, dan mau masuk lewat
pintu keluar, ada petugas yang jaga di pintu. Walah kalau harus muter bisa
makan waktu lama. Pasti bakal telat. Tapi toh banyak orang yang lewat juga.
Yang masuk lewat pintu keluar. Dan didiamkan aja sama petugas yang berjaga.
Yasudah saya lewat aja deh, toh kalau melanggar pasti dilarang. Eh ternyata
enggak. Petugasnya malah menjaga motor-motor yang mau keluar untuk disuruh lewat pintu yang
lain. Loh ini kok gimana? Kebalik. Pintu keluar ga boleh dipake keluar dan malah dipake masuk?
Dan akhirnya, saya baru menyadari ada kesalahan pada logika
berpikir saya. Eh, dibilang salah juga enggak sih ya.
Jadi Peraturan “ Gerbang ini hanya dilalui sebagai gerbang
keluar “ itu. Ditulis oleh Pihak Kampus .
Ya jelas saja artinya sudut pandang yang
digunakan adalah sudut pandang orang kampus. Keluar pada peraturan itu tentunya aja keluar dari kampus. Atau
menuju pemukiman. Pintu masuk pun adalah pintu masuk ke kampus, dari lingkungan
luar yaitu lingkungan pemukiman. Karena bagi pihak kampus, tujuannya adalah
kampus. Kampus adalah bagian dalamnya.
Yang tidak saya sadari adalah saya membaca peraturan
tersebut sebagai orang yang bertujuan ke pemukiman. Bagi saya proses saya
berpindah dari kampus ke pemukiman adalah proses masuk, karena tepmat yang saya tuju adalah
pemukiman. Pemukiman adalah bagian dalamnya.
Untung saya salah ketika sedang melanggar peraturan, minus
ketemu minus kan jadinya positif. Yang saya langgar adalah peraturan yang salah jadinya
saya benar. Saya keluar lewat pintu keluar yang saya anggap pintu masuk.
Padahal sebenarnya mah emang pintu keluar.
Coba kalau saya lagi nurut masuk lewat pintu masuk versi saya yang menuju pemukiman, atau pintu keluar versi UI . Dicegat
petugas dimarahi karena melanggar peraturan. Pastinya saya akan berdebat dengan
galak kalau saya nurut pada peraturan. Dan saya pastinya akan menolak setengah
mati untuk dikatakan salah. Betapa malunya saya kalau sampai itu terjadi. Niat
saya baik untuk masuk sesuai peraturan , niat petugas juga baik menegakkan peraturan, tapi malah beranteem
Betapa kacamata yang kita pakai dan sepatu yang kita kenakan
mempengaruhi intepretasi kita terhadap sesuatu. Hem, mungkin ini kenapa dua
argumen yang bertolakbelakang bisa diperdebatkan begitu sengit dengan kedua pihak yang ga pernah akan ingin mengalahh dan tanpa akan pernah mendapat
kesepakatan ( I am thinking about penentuan 1 ramadhan for example, but you may have various different idea that related to your troubles). Karena mereka melihat dari tempat yang berbeda. Wow, i am so deep
man.
Baiklah, selanjutnya ketika ada perbedaan pendapat terjadi,
saya akan pastikan dulu kalau saya melihat dari kacamata yang sama. Betapa
ngerinyakalau ada dua pihak yang
sebenarnya baik tapi saling konflik, bahkan berdebat bertukar bantahan dengan sengit hanya karena perbedaan sudut pandang yang
bodoh.
Semoga.
KN
031215
0604
writer's note:
This is my first writing in a while. In a very long while even. While writing is always be my escape route and my safe place, i am barely able to make time for it. I am a full-time worker now, with heavy workload and sadly tight workhour, not to mention at least 3,5 hours travel back and forth between my home and office.
Writing is my way of shaping up the alternative reality, my simulation of what ifs, my intepretation of what may happen if i behave certain way which i dont do in real life. And my thought processor to come terms with what happen in reality. Hence the name of Imaginarium
In the unknown terrority, of adulthood it is imagination that we needed the most. But it is the one that most of us lacked. And with the time that i blessed with, maybe my imaginarium cannot work in full cylinder. Maybe i cant talk about football anymore. Write whiny long love letter. Or an uncohesive poet on life.
The writing that i am capable of now maybe will sounds more bitter, more in touch with reality. Maybe this place isnt suitable to be called imaginarium anymore.
I am no expert at human behavior, nor have any hint of psychology. So this may come a bit off. But i just feel i have to lay it out. Most of us blessed with parents, who watched us over, and took us by the hand. So much blessed that we took them for granted at times. While i had troubled time with my Dad, as if pretty much everybody else, i come to terms that there can't be anyone better to fit the role as my Dad. But it took me a great deal of time to realize that fact. And i am lucky to be given that much time to figure it out. So this is how our journey written out:
1. The Invincible Heroes
As a kid, there is no presence more commanding than our dads. This is the simpler time when our dad can solve all of our trouble. Answer to our childish questions. and get whatever we wanted. When asked in our class of " Who is your hero?" we firmly and faithfully answered "Dad is our hero!". Because we dont find any reason why not to. A man that can do anything deserve the title of hero.
2. The Inclining Doubt
As we grow older, and the problem your faced were no longer a difficult homework or a bully in playground we become more detached of life-long affection to our dads. Their advice become more and more irrelevant and seems out of touch with reality we are facing. More often than not, we find others form of consolation that seems more understanding to all of our trouble. We spent less and less time home and more on anything that give us sense of unity and belongings more than our old-fashioned dads.
3. The Breakdown
The more frustating times where our question couldnt be answered anymore, our problem couldnt be solved, and our worries was not dealt with greater urgency than what we wanted. This was when we realized that after all, our Dads were no hero. They were someone that also confused, angry, clueless, and tire. This was the part when what our childhood perception of a safe hands to fall on to torn apart. Their advice was not applicable to our problem. Their do and donts was not making any sense. We broke out. We rebelled.
4. The Turning Point
And those decision we made ourselves, wasnt working either. Instead of dissapear our trouble multiplied. Our worries unanswered. Our choice breed another dilemma. And the worst of it, we didnt have any safe place to turn into anymore, as we decided to burn the bridge time ago. And we begun to wonder the "what if"s. What if we listened? As far as less educated nor conservative-minded as we thought our dad were, they could mean no harm. He experienced life thrice, or twice times longer than what we had. It wasnt possible if all of their advice was wrong. It wasnt possible that our hero, wanted us to be worse. And regret, sometimes is not an ugly emotion to be felt. We just want to be home and not anyplace else.
5. The Enlightened Conscience
And yet, after all that we've done, the rejection we shown, our dad didnt show any hesitation to take us back. And that was when we realized how we took them for granted for years. And we see them with the new light. Heroes arent those who dont bleed. Heroes arent those who have greater mind to answer of all question. Dads, for years were putting brave faces for the trouble he might not solved. Acting calm for the problems that he didnt fully comprehend. Summoning great strength to hold all the anger to deal with our arrogance and obedience. And to put up with those kind of things with all limitation they might have, is a feat that only can be done by a Hero. And we just appreciate them more.
It doesnt mean to be condescending. I just felt that many of us confused and as the one that used to be confused i just want to lay it on the table. That is not the stages that everyone experienced as it is different on how people matured. Some learn it straight away, some learn it the hard way. And i feel blessed because of how those stages are done very early for me, as there are others who didnt feel the same way. Unti it is too little too late.
Okay, this time i want to beat on a shall be very dead topic. Hence the title. It shall be put to bed for a long time but it is not. So as a smug, i want to propose an alternative hip argument just for the sake of it. Every year, we always have arguments whether to say " Merry Christmas " is permitted or not. It is downright silly if you catch only glimpse of it. But the fact that we even have that debate, is actually a concerning situation.
For some I might be a kid who have little to none knowledge about Islamic How-To. I am learning though. So maybe we shall argue it in a non-textbook fiqh perspective. In a more sensical point of view. Because it is what i think the point of religion after all : practicallity. (Is it even a word)?
So, the big question. Do saying seasonal greetings make us a non-believer? Make us believe in the statement we say?
Sebagai salah seorang pengguna, saya mengerti betul apa arti dari menuangkan maksud dalam kata-kata. Bukan saja kata menjadi perantara agar orang lain mengerti apa yang ada didalam pikiran. Berkata-kata dengan baik dapat mengabadikan momen dan emosi. Misalnya saja ketika kita sedang dilanda kemarahan lalu kita tuangkan dalam bentuk kata. Waktu berselang, ketika tidak marah lagi kita mengerti seperti apa dan seberapa kita marah saat itu. Kata-kata adalah kapsul ingatan. Selain itu, tentunya kata sebagai apa yang dikatakan Aristoteles sebagai katarsis, Purgatory of emotion - penyucian perasaan.Maka dari itu saya senang sekali membaca-baca dan mendengar-dengar kata kata dari orang lain. Dengan mendapatkan sedikit tumpahan dari perasaan mereka saya merasa lebih mampu mengenal mereka.
Waktu kecil, barangkali berusia 4 atau 5 tahun, saya ingat saya sering menggumam kata-kata asing yang tidak memiliki arti. Barangkali ada yang melakukan hal yang sama? Entah apa tujuan saya saat itu, saya sering mengucapkan kumpulan huruf yang tidak beraturan. Susah menjelaskannya, tapi barangkali seperti meracau dalam bahasa asing. Mungkin karena kosakata saya yang terbatas untuk merangkainya menjadi sebuah kata yang berstruktur jadi yang keluar cuma bunyi-bunyi aneh tanpa arti. Baru-baru ini seiring dengan kebiasaan saya berkata-kata saya menyadari bahwa dibalik kata bukan cuma ada unsur semantik. Tapi ada unsur bunyi. Setiap suku kata memiki bunyi yang khusus - fonem. Dan merangkai kata dengan memperhatikan keteraturan maksud sambil mendapatkan bunyi yang sesuai dengan perasaan yang kita maksud itu juga memiliki kesenangan tersendiri. Sehingga bukan hanya melalui arti kata saja maksud kita sampaikan tapi juga melalui nuansa bunyi. " Mendengar ombak berdesir " adalah ketika kita sedang khidmat menikmati suasana pantaisementara " Menyimak deburan ombak" terasa lebih tegas dan penuh ambisi. Mungkin hal itu juga yang mengesankan perbedaan antara bahasa Jerman yang tegas, bahasa Prancis yang Flamboyan atau bahasa Cina yang gesit.
Ini ceritanya saya sedang di persimpangan karir. Ini ceritanya waktu yang formatif untuk kelanjutan hidup saya kelak. Eh tapi mah kalau persimpangan itu ada belokan dan banyak jalan yang harus diputuskan yang mana yang akan diambil. Hem, kalau gitu ini namanya tersesat di hutan ya. Tapi bukan itu yang mau diceritain sekarang.
Ada yang nasehati kalau karir itu beda sama kerja. Dan sebelum mulai berkarir, harus punya cita-cita dulu. Untuk hal yang fundamental seperti ini, sebelum berangkat harus punya ujungnya biar ga muter-muter ditengah jalan. Dan dinasehati tujuannya jangan dangkal. Bicara soal tujuan, dari mulai bisa mikir, Saya punya satu hal yang kayaknya bisa dijadiin tujuan hidup. Saya pengen menggunakan keahlian saya buat membantu orang sebanyak-banyaknya. Oh engga, engga semulia itu kok. Itu tentunya setelah saya dan keluarga saya kelak hidup berkecukupan.
Jadilah mulai terpikir bagi saya bahwa tujuan akhirnya bisa jadi orang yang berkekuatan. Presiden mungkin? Heem, kalo jadi presiden ga bisa tidur banyak-banyak. Lagian peluangnya satu banding berapapun populasi Indonesia di 2050 nanti. Semilyar mungkin? Keleus. Apapun yang punya kekuatan dan didengar. Yang bisa merumuskan kebijakan buat bermanfaat bagi orang banyak. Kayaknya asik bikin orang senang karena usaha yang dilakukan. Kalau yang kayak gitu masuk kantor tiap hari pagi-pagi pun kayaknya ikhlas kalau bisa liat hidup orang lebih baik karena pekerjaan yang kita lakukan. Engga, ga semulia itu. Diri sendiri dan keluarga tetap harus berkecukupan dulu. Menteri kayaknya asik. Kerja di dinas propinsi. Legislator? Atau Batman?
Yaa, meski sekarang belum tau perjalanan yang harus ditempuh tapi kira-kira seperti itulah tujuannya. Maafkan lah saya yang absurd ini. Tapi tujuan itu, man. Pengalaman kita baru-baru ini mengajarkan pengorbanan yang orang-orang lakukan untuk sampai tujuan yang sama dengan saya. Orang melakukan pengorbanan yang tinggi untuk dapat punya kekuatan. Mungkin bukan karena ambisi, gimana pun kekuatan dan kekuasaan itu punya apa yang mungkin bisa kita sebut multiplying effect. Jadi dengan effort yang sama, kalau punya kekuatan yang lebih besar manfaatnya pun bakal lebih besar. Mungkin tujuan mereka berebut kekuasaan itu mulia. Gatau mulianya kayak saya (diri sendiri dan keluarga dulu, tapi tulus mau bantu yang lain kok) apa ngga. Tapi pengorbanannya itu.
Kita lihat pribadi-pribadi percontohan itu berbohong, mengelak, menjilat ludah sendiri, menyalahgunakan hak, mencuri hak orang lain. Kita lihat pribadi-pribadi percontohan itu, menurut saya, mengkompromikan hal-hal yang mereka bela selama ini demi dapat kesempatan untuk membela dengan lebih sengit hal-hal tersebut. Maaf kalau salah nangkep tapi sampai sekarang nangkepnya begitu. Tujuannya mulia, berangkat dari keinginan yang mulia. Tapi dengan lewat jalan yang begitu gelap dan berkabut, apa seseorang bisa sampai disana? Apa kebaikan bisa dicapai dengan jalan yang kurang baik.
Mengingat kalau pribadi-pribadi percontohan yang menempuh jalan itu rasanya berarti mungkin memang tidak ada jalan lain untuk sampai ke tujuan itu. Kalau begitu adanya, masihkah jalan itu pantas untuk ditempuh.
Gatau pasti juga, mungkin memang jalan seperti itulah yang ditawarkan sistem propinsi dan negara ini sekarang. Kalau ga mau ikutan ya gabakal menang. kalau gamau mencontoh mereka yang punya kekuasaan ya gabakal punya kekuasaan. Mungkin sebenarnya bisa sih diperbaiki. Tapi man, mau memperbaiki sistem itu pun pasti jalan yang menyakitkan dan lama. Apa kabar kebercukupannya saya dan keluarga saya woy. Bisa-bisa malah nanti terseret dan ikut jadi bagian dari sistem. Hih amit amit.
Atau mungkin jalan yang bisa ditempuh selanjutnya adalah melakukan hal-hal baik tanpa ikut didalam sistem. Jadi vigilante gitu. Tapi tanpa kekuatan yang bisa dilakukan ga banyak. Kecuali batman.
Oke. Mungkin daripada jadi menteri lebih baik jadi batman.
Tentang mengemudi adalah. Ada hal-hal tentang waktu yang
tidak bisa ditukar. Sebesar apa juga bakat kita untuk mengemudi. Seberapa pun
latihan dan teori yang kita terima sebelum mulai berkendara.
Tetap, pada kilometer-kilometer pertama untuk mendahului
sebuah angkot di jalan satu arah, kita menghitung jarak dengan angkot didepan,
kecepatan laju kendaraan kita dan sisa ruang dengan mobil dari arah berlawanan.
Semua terjadi dalam tahap-tahap yang mendebarkan dan terkadang menyakitkan. Juga
ketika mengubah gigi. Dengan mata menatap penunjuk kecepatan dan putaran mesin
serta telinga mencoba mendengar deru mobil barulah otak mengambil keputusan
untuk menaikan atau menurunkan gigi sesuai dengan data yang diproses, yang
kadang butuh waktu.
Mari coba bayangkan bahwa kita adalah sekelompok orang yang cinta alam yang memiliki cita-cita terbesar untuk melihat kawah gunung rinjani yang elok dengan mata kepala kita sendiri. Apa daya kita adalah mahasiswa-mahasiswa sibuk yang tidak punya waktu dan tidak punya uang.
Bertahun-tahun kita puaskan cita-cita kita dengan hanya mendengar cerita-cerita orang yang pernah sampai di bukit kita, di surga kita. Tentang agungnya goa-goa yang disembunyikannya. Dan indahnya danau Segara Anak yang menghampar. Kita dengar cerita perjalanan mereka. Mereka yang berkisah indahnya berangkat dengan kereta untuk selanjutnya menyebrang dengan kapal feri. Mereka yang lain yang bercerita kemudahan untuk menggunakan pesawat terbang. Tapi pengalaman bukan cerita. dan Perjalanan sifatnya pribadi. Memercayai keindahan gunung rinjani, mengimaninya, tidak bisa dilakukan dengan mendengar cerita orang lain saja.
Sedapatnya kita membaca cerita perjalanan dan mendengar kisah tentang keindahannya ataupun mencari gambarnya di internet, itu tidak akan pernah menjadi cukup untuk menjadi citraan di belakang kepala kita. Membaca, mendengar dan membandingkan tidak pernah cukup. Kita, sampai kapanpun, tidak akan pernah dapat melihat gunung jika kita tidak pernah berangkat naik gunung.
Maka kemudian malam ini marilah kita menyusun rencana perjalanan kita. Tentang jalan yang akan kita tempuh. Transportasi yang kita ambil. Apakah jalan darat atau jalan udara. Melalui rute senaru ataupun sembalun. Mungkin sepanjang perjalanan kita akan diliputi rasa cemas dan ragu, tentang rute yang kita ambil. Mungkin sepanjang pendakian kita akan ditusuk rasa dingin dan gigitan serangga. Dan kemudian apabila pada akhirnya kita ternyata tidak sampai disana, kita sudah melangkahkan kaki dari luar kamar-kamar kita. Kita dapat menuliskan cerita perjalanan kita sendiri. Dan kita sudah jadi lebih dekat dengan gunung rinjani, dibanding kita yang membanding-banding dan mematut-matut rute di keamanan temaram lampu kamar melalui buku-buku yang kita baca.
Karena percaya dan patuh, hanya bisa terjadi setelah mendengar. Dan mendengar baru bisa dilakukan setelah membaca. Dan membaca, yang kita lakukan selama ini bukanlah membaca, membaca dimulai dari langkah-langkah bayi yang kita akan ambil. Langkah-langkah yang memang kecil, tapi membawa kita beberapa langkah bayi lebih dekat
Kita gemar mengutuki pidana korupsi. Menurut survey dari sumber yang tidak kredibel tapi saya ga punya waktu lain untuk mencari sumber yang lebih kredibel sebanyak 52,4% dari 8000 responden bahkan mengatakan hukuman mati adalah hukuman yang pantas untuk pidana korupsi. Tingkat kemurkaan kita pada korupsi. Kenapa korupsi? Kenapa bukan tindak kejahatan lain? Entahlah. Mari tidak mempertanyakan motif ketikan gerakannya baik. Dan isu korupsi, pemberantasan korupsi atau bahkan hanya sebatas keterlibatan korupsi dan kemungkinan korupsi menjadi salah satu bahan pertimbangan di masa pemilihan ini.
Tapi terlepas dari itu, korupsi di Indonesia menurut saya sudah lebih dari batas korupsi personal. Korupsi yang terjadi bukan hanya karena ingin dan ada kesempatan. Tetapi karena harus. Ya, korupsi yang terjadi adalah korupsi sistemik. Indeks persepsi korupsi Indonesia, yang kalau disingkat IPK, ouch, adalah peringkat 114 dari 177 negara. (www.transparency.org). Dengan nilai 32 dari seratus. Indeks persepsi korupsi ini adalah angka penilaian terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh sektor publik di suatu negara dinilai dari besar, jumlah kasus, dan dampaknya. Dan Indonesia adalah 30% terbawah. Kalau dikelas yang isinya 40 orang kita peringkat 27-28. Ga akan dapat SNMPTN Undangan. Di negara yang sila pertama landasan idiilnya bunyinya "KETUHANAN YANG MAHA ESA". Ya begitulah.
Korupsi sendiri menjadi kabur batasannya di kehidupan sehari-hari. Bukan-bukan karena korupsi tidak jelas definisinya. Coba tanyakan pada diri masing-masing apa definisi korupsi? Di UU no 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Korupsi unsur korupsi ada 3 yaitu : 1. menggunakan jabatan. 2. Memperkaya diri atau golongan. 3. merugikan negara. Definisinya cukup jelas. Tapi yang terjadi adalah pemakluman dan pembiaran.
Dimulai dari hal kecil, pembiaran terhadap korupsi banyak terjadi. Malah mungkin kita yang lakukan. Saya, pribadi, kemudian tanpa sadar juga telah beberapa kali melakukan dan menyaksikan tindak korupsi.
Contoh kecilnya misalkan dulu, ibu saya pernah menjabat sebagai wali kelas di SMA. Pernah, suatu hari sepulang kerja ibu saya membawa buku komik. Yang ketika ditanya dari mana adalah hasil sita dari anak muridnya. Komik itu saya baca dan tidak pernah dikembalikan. Meski sekarang juga sudah lama tidak bisa ditemukan.
Dari jenis kegiatannya, tiga unsur korupsi sudah dipenuhi. Ibu saya sebagai wali kelas, menambah kekayaannya sebanyak satu jilid komik yang seharusnya menjadi milik institusi negara yaitu sekolah. Tapi ya yang ibu saya lakukan berdasar hukum. Membawa komik memang melanggar aturan sekolah dan menjadi tugas ibu saya sebagai walikelas untuk melakukan penyitaan. Kendalanya adalah tidak pernah ada penampungan untuk barang-barang sitaan di sekolah. Dan tidak pernah ada yang menanyakan kemana semua barang sitaan itu. Tidak ada instrumen kontrol di sekolah. Karena itu ibu saya tanpa sengaja, ya saya sudah pastikan dulu dengan bertanya kenapa dibawa pulang? , tanpa sengaja membawa komik itu kerumah. Sekolah secara tidak langsung membuat sistem yang mengizinkan terjadinya korupsi.
Ceritanya malam itu murid saya sudah pulang. Saya tidak pulang. Pulang kemana? Orang itu rumah saya. Saat itu rumah saya sedang tidak ada orang. ya selain saya, kalau saya masih dianggap orang. Saya teringat harus memasukkan motor kedalam rumah dan mengunci pintu rumah supaya motor bisa dikeluarkan lagi besok. Tapi semilir angin malam yang sejuk, bulan yang pucat seperti malu untuk bersinar terang-terang kali takut dibilang pamer, anak tetangga yang main suling mungkin buat tugas sekolah atau memang punya hobi dan bakat, karena main sulingnya bagus. Semua bikin saya malas untuk turun dari balkon. Jadilah saya tiduran di balkon. Andai pembicaraan bisa dilakukan sendiri maka saya ikhlas jika waktu harus berhenti saat itu. Tapi tidak. maka saya undanglah seorang teman mengobrol.
Halo. Aku adalah laki laki malam, Begitu dia menyebut dirinya. Toh saya sudah tahu siapa dia, tetapi tetap ia sebut namanya sebelum duduk bersila di karpet kecil tempat saya mempersilahkan murid saya duduk selagi saya mengajar. Saya juga yakin dia kenal saya tapi tetap juga saya perkenalkan diri saya. Kemudian hening. kami berdua terdiam.
Saya juga tidak mengerti. Saya membutuhkan teman bicara saat itu. Tetapi ketika dia datang tak satupun pembicaraan yang dibicarakan. Ada sesuatu pada laki-laki malam yang membuat kita tak gampang bicara. Laki-laki malam itu seusia kita, dengan pembawaannya jauh lebih dewasa. Namun nada bicaranya memancarkan ketulusan khas anak-anak.
Habis ngajar apa mas? Lakilaki malam bertanya. Basa-basi. Dia tidak sekolah untuk mengerti kurikulum. Tapi hanya orang jahat yang menolak basa-basi dan saya tidak mau jadi orang jahat. Maka saya jawablah tentang benda langit. Tentang hukum kepler. Tentang Jarak antara benda langit.
Diner, was just goofing around when watched the news of Guntur Bumi in National News. This nation has nothing more newsworthy than a bogus paranormal, has it? In this country with rich culture and spiritual beliefs, metaphysical stuff like dukun and black magic can't be left out. Even with the development of technology, those stuff won't be considered primitive. You can count the amount of paranormal-themed product in mainstream media. Tv, website, or even magazine likewise. But never i have a faintest thought that on national news, a scam by paranormal will be a headline. I only think that paranormal stuff like those is reserved for those who ignorant enough to be entertained with it. Like anime or wrestling or dubbed tv series. So what is the difference with this one?
This is the guy who claim he can heal almost all of symptomps and disease. This is the guy who make others beliefs as mockery by saying that he is merely channeling God's will to cure people. This is the guy who make money through the overzealous faith of religion. This is our average dukun, our average scammer.
We can find this kind of dukun in almost every corner of Indonesia. you can try to commute by angkot or kopaja and you can find the advertisement of this kind of practice. You can buy the design-deprived paranormal magazine and see what you can find. So what make this guy special? what make this guy receive exposure on national tv in a primetime news programme?
For the conspiracy-theorist, there is of course issue management theory. But after listened to the explanation of the expert and the debunking of the methods used by Guntur Bumi, i think that because he simply tried to much.
While other dukuns will only use the power of persuasion and word-play to seduce the victims, Guntur Bumi actually used electrical devices in his practice to inflict the sensation of being paranormally healed to his victims. Maybe he mean to do his heist more convincingly. That unlike other average dukuns, his methods is more convincing because of the technology involved. And that unlike other average dukuns technology leave evidences.
The use of technology to give sensation of curing process give away evidences. This evidences unlike usual mind games and verbal seduction is actually can be solid evidence to categorize this scam as an actual crime. And if there are real evidence, real investigation can occur.
Has Guntur Bumi use the usual methods of paranormal scams, maybe these things wont happen. Maybe he will be considered as the average paranormal who make a living by feeding of people ignorance. He wanted to be different. he wanted to be better. he developed more nifty heist, he wanted to be stand out. But sometimes , especially in despicable act, average is better. By wanting to do more, you start your own downfall.
By the way, i dont really despise perdukunan. i am not a bit superstitious. so i don't bothered by those kind of stuff. but i kind of think that people that ignorant enough to believe in dukun deserve to be scammed.
Semua orang suka olahraga. Bukan
hanya untuk menjaga kebugaran jasmani, tapi juga merawat rohani dengan
berkompetisi. Berkompetisi itu baik. Makanan apa yang lebih sehat untuk ego
kita selain perasaan superior kemenangan ketika habis berkompetisi? Setiap Olahraga
punya daya tariknya masing-masing. Baik itu olahraga laki-laki dengan kontak
penuh seperti sepakbola, american
football , Bola Basket, Gulat Professional, Hoki, atau olahraga bohongan
macam badminton, tennis, golf, atau catur. Para nerd pun punya olahraganya
sendiri seiring dengan berkembangnya sceneE-sport saat ini. CS-GO. HON, DoTA,
bahkan flappy bird berkembang menjadi kompetisi yang dirayakan.
Jadi bagi yang belum mempunyai
hobi untuk berolahraga, pilih satu sekarang. Percayalah itu akan meningkatkan
kesempatan anda untuk menaiki tangga pergaulan sosial. Karena apa lagi yang
lebih keren daripada citra sebagai seorang yang Sporty yang melekat di diri anda ketika anda me-live tweet sebuah
kompetisi sepakbola dengan passion seperti
supporter asli ketika anda menyaksikannya sambil tiduran dirumah? Atau apa yang
lebih nasionalis dibanding membangga-banggakan kontingen Indonesia di Open-open
itu meski anda harus bolos upacara?
Bagi penulis, yang sudah
mengamati dan mengomentari olahraga sejak mengamati dan mengomentari belum
keren, terkadang rasa jemu muncul. Dimulai dari mengenal satu olahraga,
kemudian mengerti aturannya dan memiliki jagoan tim favorit yang populer,
menjadi hipster dan mencari pahlawan yang kurang dirayakan, kemudian menyadari bahwa
itu semua masih membosankan. Ada harga yang harus dibayar ketika terlalu sering
mengamati dan mengomentari. Anda menjadi terlalu kenal dan semua jadi mudah
diprediksi. Olahraga tersebut mulai jadi membosankan. Lalu apa yang harus kita lakukan saat itu semua
terjadi? Haruskah kita berhenti mempunyai hobi?
Penulis punya jawabannya: Mari
berjudi.
Judi dalam olahraga, bertujuan
untuk meningkatkan gairah menyimak olahraga dan juga menyediakan platform bagi
para orang biasa yang gagal menjadi
atlet untuk berkompetisi. Well, if you
can’t brag what you won on the field, brag about the cash you won even if you
aren’t on the field. Anda mempunyai
kekuatan untuk memiliki pendapatan dari usaha orang. It’s so pimp brah.
Ada 3 sikap dalam berjudi. Ektrim
kanan, Moderat, dan ekstrim kiri.
Ekstrim kanan adalah Machiavelli dalam berjudi. The ends justify the means. Mereka berjudi berorientasikan hasil
bukan prosesnya. Maka muncullah berbagai skandal pengaturan skor dan skandal
judi yang harus kita perangi karena menodai sportifitas olahraga yang kita
cintai.
Kaum Ekstrim kiri adalah kaum
anti berjudi. Menganggap berjudi adalah haram. Berjudi itu mencari rezeki
dengan menebak sementara merancang pasar baru dalam pembuatan suatu produk
adalah teknik menganalisis.
Sementara adalah kaum moderat
yang menggenggam hidup. Kaum carpe diem. Kaum yang berjudi karena ingin. Dan
mampu berhenti kala harus. Kaum penggiat olahraga yang mulai bosan dan ingin
menyuntikkan gairah kedalam hobi yang dicintainya. Dan untuk merekalah penulis
berbicara.
Berjudi kadang memang nagih
ketika menang, namun bikin sedih ketika kalah. Sedih yang membuat kita
penasaran sehingga ingin mencoba lagi. Ya nagih juga intinya. Lalu bagaimana
cara berjudi yang benar? Supaya tidak berakhir seperti video DEP diatas. Ini adalah pro betting tips buat kalian para amatir
judi.
a) Judilah secukupnya
ingat, berjudi itu pangkal
kemiskinan. Itu kalau kalah terus menerus dengan mempertaruhkan seluruh harta
untuk kehidupan lewat berjudi. Maka jadi moderatlah dalam berjudi. Judi
secukupnya. Jangan taruh beasiswa universitas anda untuk berjudi. Jangan. Ingat
cerita fans arsenal di afrika yang jadi homeless ketika Arsenal kalah melawan
United? Itu berlebihan. Masih untung fans Arsenal ini yang kalah. Kalau
sebaliknya akan jadi lebih heboh beritanya Karena fans united mempertaruhkan
istrinya.
Berjudilah hanya untuk
meningkatkan gairah, bukan untuk mencari penghidupan. Maka anda akan aman.
Alokasikan harta anda perbulannya yang diperuntukkan untuk berjudi. Jika dana
tersebut sudah habis dikarenakkan kalah yang beruntun, percayalah bahwa anda
adalah orang bernasib buruk yang tidak cocok untuk berjudi. Jangan paksakan
takdir. Cari cara lain untuk kaya. Ikut seminar sukses atau MLM misalnya.
b) berjudilah melawan tim
kesayangan anda
Apa yang lebih menyenangkan
dibanding melihat tim kesayangan menang? Kebanggaan yang dirasakan ketika tim
yang merchnya anda pakai kemana-mana mengangkat piala. Bragging rights yang dimiliki untuk membuat kawan anda inferior
terhadap sesuatu yang bukan anda yang lakukan. Dada yang bidang dan langkah yang
lebar di hari senin ketika semua orang menghormati anda sebagai penonton yang
menang. Jawabnya tentu : uang. Yang banyak.
Jadi, bertaruhlah melawan tim
kesayangan anda. Paling tidak ketika anda kalah, anda mendapat kompensasi
berupa uang. Dan ketika anda menang, anggaplah itu sebuah harga yang harus anda
bayar. Kalau anda benar mencintai tim anda, sedikit harta tentu bukan masalah
bukan selama tim anda menang? Lagipula hal itu bisa menjadi salah satu pengganti
perasaan berkontribusi nyata anda untuk tim kesayangan. Apalagi kalau merch yang anda miliki itu KW Thailand
sehingga tidak masuk ke pundi-pundi tim.
Dan hey, fans united. Anda bisa
kaya!
c) Beretikalah dalam berjudi!
Pilih pilih lah arena berjudi
anda.
Judi sepakbola? Cool. Judi olahraga lain? Awesome. Judi Capres? Bukan Masalah.
Judi siapa muadzin di mesjid siang ini? Err.. Judi siapa teman anda yang akan
putus cinta duluan? Jangan pernah.
Bro, gue Putus....
YES!! ... eh maksud gue, jeez. But,
YES!!
d) Sisihkan sebagian hasil
kemenangan anda untuk beramal
Imej perjudian sebagai sesuatu
yang merusak moral bangsa dan patut diberantas memang kadang menjadi halangan
bagi nurani kita ketika ingin berjudi. Untuk membersihkannya, sisihkanlah
sebagian kemenangan anda pada mereka yang membutuhkan. Ingat ada hak mereka di
harta yang kita dapatkan. 2,5 % cukup.
Jika anda menang besar, sisihkan
lah lebih banyak. Citra anda terangkat dikalangan musuh judi anda dan juga di
hadapan Dewan Kehormatan Masjid. United menang, Tetangga kenyang. Semua Senang.
e) Shut that conscience
Lakukan apapun untuk membuat hati
kecil anda tenang dalam berjudi. Jika berjudi dengan uang membuat anda merasa
berdosa pertaruhkan lah hal-hal lain. Traktiran makan siang misalnya. Dan
andaipun anda menang, anggaplah traktiran itu sebagai kegiatan pengakraban yang
mempererat tali silahturahmi. Pertaruhkan lah hal-hal yang positif. Misal,
kalau anda kalah anda akan memberi makan 10 fakir. Ingat, anda bertaruh untuk
sensasi ketegangannya. Bukan untuk uangnya. Jangan jadikan judi sebagai sumber
pemasukan. Itu bukan pilihan karir yang sustainable.
Hujan ketika harusnya nggak. Lagipula waktu. Dan bukan kita semua bertekuk lutut dibuatnya? Maret hampir berakhir ketika belum pernah dimulai. Arjuna Merah masih jadi yang paling berharga. Dan 5 orang itu patut dipertukarkan dengan tangan kaki sendiri. Bisa begini dibuatnya, siapa yang kira?
Saya dibuat takut oleh masa depan. Apa itu, sok-sok latah cari kerjaan. Sudah berangkatnya kehujanan. Ujiannya sih gampang. Tapi buat apa beli payung. Ramalan cuaca bilang mendungnya masih tahun-tahun depan kok. tapi di kereta jakarta kota-depok sudah hujan.
Saya sedang menikmati makan siang
yang terlambat hari ini sambil seperti biasanya, mencerdasakan diri dengan
menyimak kejadian yang terjadi di pelosok dunia melalui media sosial ketika
sebuah pesan dari layanan pesan kilat datang. Itu adalah ayah saya yang sedang
dinas diluar kota mengirimkan foto dirinya yang sedang berada di tempat wisata didaerah
itu. Kemudian belum terbalas pesan itu tersebut datang lagi pesan yang lain. Dari
seorang teman yang berada di dufan. Dan yang dikirimkan adalah foto-fotonya
sedang menikmati berbagai wahana disana. How
fancy are social media?
Dalam dunia modern dimana batasan
jarak diperkosa, informasi menjadi sebuah aset yang berharga. Dan kita,
dengan segala sumber daya yang dimiliki, berhak dan berkeinginan untuk menggali
aset itu sebanyak-banyaknya. Murahnya gadget
dan ongkos jasa yang harus dibayar hanya mendukung berkembangnya tren ini.
It is kind of weird to see the
recruitment of SBE Deputy and staff this recent days on @sbeuisc as i never
remembered to discuss about that with my board member. Then i remember that it
is not up to me anymore. My time as the president of SBE UISC is up. And for
what it worth, it was worthwile.
In all honesty it was never my
plan to become the president of SBE UISC. I had this certain event that i
wanted to organize since i learnt how to organize. Kind of you don’t say
statement since SBE UISC was not even existed until my sophomore year. How can
you plan for something that not yet existed? But despite the establishment of
SBE, my response was lukewarm. Sure SBE, a core-competency-based community was
a welcoming presence in oil&gas-heavy specialization of Chemical
engineering Department something that i never gave a sniff about. It gave an
access of knowledge and information that would be beneficial. But never in my
faintest dream i would be involved this much.
I was approached by Ka Pijar, a
senior i knew only by the name back then, a senior that grew into one of the
people i respect the most in school, to become the vice-president for the
newly-assembled board. I wasn’t sure why of all people it was me that asked to
take the responsibility as great as vice-president. Guess the lack of human
resources which had no shame to hold such position with the exception of myself
:p After explained and inquired that my one big goal was still that particular
comittee and i would be understood to allocate some of my time to prepare for
it in the middle of the tenure, which was given by ka Pijar, i was agree to be
the vice-president.
And so it went. The small team of
SBE Board of Director 2012, team that consisted of 10 people: Ka pijar, myself,
bagas, ka ipi, ka asa, dinda, bundo, asep, felita, and nissa. We were the first
board who had full tenure of SBE UISC stewardship. We had no idea which way to
go. Any obstacle, any hardship, in all of our inexperience we figured it out with
the guidance of the SBE founders. Being a member of that small team, in a
position which had no definite job description allowed me to oversaw things that
gave me perspectives. The perspective of each division obstacles, of
member-community relationship, of legal view and leverage we had as community,
of the goal and vision of this community, of weakness and uncertainty as a new
organization. And in my responsibility as the vice-president i could, i needed
to be able to make decision whenever the more senior board member unavailable
due to their more demanding academical obligation. But once again thats more
because my undefined job description so i had more free time than other board
members :p.
Jadi beginilah adanya. Besok adalah hari pertama semester 8, yang semoga menjadi semester terakhir saya berkuliah di UI. Terlalu banyak yang sudah dilalui untuk dikilas balikkan dalam satu kesempatan. Beberapa jadi pengalaman berharga yang mengajarkan berbagai hal, beberapa menjadi hal biasa yang memberikan kesempatan untuk pengalaman lainnya menjadi berharga.
Sebenarnya saya sudah 3 kali mengalami wisuda. Berganti instansi pendidikan. Tapi selama perkuliahan ini. Rasanya saya benar-benar mengalami metamorfosa. Dan setelah perkuliahan ini, saya benar-benar pertama kali dihadapi pilihan. Selama ini sebelum berkuliah rasanya hidup saya sistematis. Menjadi sistematis dengan mengorbankan pilihan. Ketika sekolah tidak ada pilihan lain selain bangun jam 5 pagi dan pulang pada jam pulang sekolah. Setamat SD tidak ada pilihan lain selain masuk SMP. Lulus SMP Masuk SMA. Lulus SMA masuk universitas. Tidak ada pilihan lain selain pakai seragam yang berkesesuaian dengan hari. Kemudian, saya diperkenalkan pada ketiadaan keteraturan.
Jikalah banjir di Jakarta merupakan adzab dari maksiat yang terjadi pada penghujung bulan desember, dari sebuah pesta besar yang bertujuan untuk mengajak rakyat melupakan keluh kesah, dan dengan dana dari sponsor pula sehingga tidak menghabiskan uang negara, maka bukankah Maha Pemberi Adzab mampu memberi sebentukan yang lebih selektif. Tidak semua dilanda banjir sekarang hadir pada pesta tersebut. Dan tidak semua yang hadir terkena banjir.
Jikalah perpres Nomer 74 Tahun 2013 merupakan legalisasi hal yang harusnya dilarang, bukankah kalian bisa berdiri dibawah payung hukum yang lain? Karena peraturan perundang-undangan dibuat bukan untuk memayungi satu golongan. Dan karena pembuatan peraturan perundang-undangan tidak lebih mementingkan pihak manapun. Kalau dilarang ya jangan. Tapi perspektif hukum bukan hanya aspek legal formal tapi ada aspek kemanfaatan. Ya meskipun itu memang hukum yang dibuat manusia. Persatuan dalam iman adalah teokrasi. Apa yang terjadi di mesir bisa jadi bahan perbandingan.
Absen menulis lagi setelah sekian lamaaa.. sebenarnya tulisan ini pun tidak dimaksudkan. Apa daya, Internet lagi kurang bersahabat, DOtA pun terputus. Liburan pseudo ini dengan cepat membuat ritme. padahal kalau sedang kuliah rasanya sulit meritmekan keseharian. Saya bangun kesiangan, ke kampus, bimbingan, pulang, kalau tidak sedang browsing-browsing ya main dengan keluarga, lalu malamnya dota sampai pagi. seperti pagi ini pada harusnya yang tapi nyatanya tidak. Tapi agak bosan juga jadinya melakukan sesuatu berulang-ulang.
Pada entri sebelumnya saya sudah cerita tentang bagaimana saya harus membuat ulang proposal penelitian skripsi dikarenakan ada pergantian tema. Dan sekarang sih sejauh ini sedang berjalan maju. lambat, tapi tetap maju. Sudah 3 siang di minggu ini saya habiskan di ruangan dosen pembimbing untuk mengejar capaian-capaian. Dosen pembimbing saya memang tidak ortodoks, tapi baik. Jika umumnya landasan suatu penelitian adalah dikarenakan sebuah hipotesis yang ingin dibuktikan lalu merancang penelitian, karena keterbatasan waktu tahap yang saya lakukan adalah mencari hipotesis yang tepat untuk suatu rancangan penelitian. Tapi tetap bisa dinikmati kok proses pembelajarannya. apalagi tema yang diangkat adalah sesuatu yang belum saya pelajari secara mendalam di kuliah. memang jadi harus belajar dari awal lagi, tapi belajar terkadang bisa jadi menyenangkan. Intinya penelitian saya adalah membuat suatu kompeks lantanida atau logam tanah jarang dengan metode yang lebih cepat dari umum kemudian menguji karakteristik persenyawaan tersebut secara struktural bahkan sampai aktivitas anti mikrobialnya. Sounds douche ya? Tema itu sangat organo-metallik, sesuatu yang belum pernah saya pelajari secara mendalam. Tapi seminggu menyelami topik itu, terasa jauh lebih ramah dibanding topik sebelumnya. Baiklah tentang penelitiannya seperti apa mungkin akan dijelaskan di waktu lain.
Saat sedang browsing-browsing di waktu pseudo-liburan ini saya tiba-tiba berniat membuat katalog buku-buku yang ada di rumah saya. Karena ada 4 ruangan tempat menyimpan buku terkadang suka ada yang terlewat jika mencari suatu buku. Atau kadang-kadang anggota keluarga membeli buku yang sebenarnya sudah ada. Dan lagi pula akan lebih mudah mencarinya jika butuh informasi tentang suatu topik jika ada katalog judul yang bisa ditelusuri. Dimulailah pendataan virtual buku-buku yang ada dirumah. Baru sampai rak yang ada di koridor kamar saya, saya menemukan buku lama berkover keras dan berwarna cerah cantik. Itu adalah buku Animal Farm karya Orwell. Salah satu buku yang ada dua cetak di rumah saya, tapi yang satu itu saya beli karena tersedia dalam bahasa Inggris dengan harga lebih murah dari satu paket makan di restoran cepat saji sementara jilid satunya adalah buku berkertas kekuningan dan berbau apek peninggalan kuliah ayah saya. Saya pertama baca buku itu kelas 3 SD. Dengan karakter binatang-binatang dan alur yang menarik buku itu menjerat imajinasi saya masa kecil sebagai buku fabel, dan anak kecil tidaklah ambisius dalam membaca. Tujuan saya membaca hanya menunggu Ibu saya pulang kerja dan membuka pintu ke dalam ruang utama di rumah. (Saya sampai kelas 5 SD hanya punya akses hingga ruang baca yang adanya dekat gudang, supaya lebih aman katanya, tidak merujuk saya atau rumah yang diamankan). Sekarang 14 tahun berselang, saya membaca kembali fabel sederhana itu.