Jikalah banjir di Jakarta merupakan adzab dari maksiat yang terjadi pada penghujung bulan desember, dari sebuah pesta besar yang bertujuan untuk mengajak rakyat melupakan keluh kesah, dan dengan dana dari sponsor pula sehingga tidak menghabiskan uang negara, maka bukankah Maha Pemberi Adzab mampu memberi sebentukan yang lebih selektif. Tidak semua dilanda banjir sekarang hadir pada pesta tersebut. Dan tidak semua yang hadir terkena banjir.
Jikalah perpres Nomer 74 Tahun 2013 merupakan legalisasi hal yang harusnya dilarang, bukankah kalian bisa berdiri dibawah payung hukum yang lain? Karena peraturan perundang-undangan dibuat bukan untuk memayungi satu golongan. Dan karena pembuatan peraturan perundang-undangan tidak lebih mementingkan pihak manapun. Kalau dilarang ya jangan. Tapi perspektif hukum bukan hanya aspek legal formal tapi ada aspek kemanfaatan. Ya meskipun itu memang hukum yang dibuat manusia. Persatuan dalam iman adalah teokrasi. Apa yang terjadi di mesir bisa jadi bahan perbandingan.
Jika kita mau bicara soal hukuman, menurut saya Hukum Alam pun sebenarnya adalah Hukum Tuhan. Bahwa adzab sifatnya bukan spontan melainkan kausalistik. Saya percaya karma. Karma telanjang minus mistiknya. Musibah yang disebabkan bukan lain karena manusia sendiri, saya sepakat. Tetapi akibat yang disebabkan tidak spontan. akibat yang terjadi dikarenakan karena penyebab. Dan akibat yang terjadi akan berulang dengan hasil yang sama jika dikerjakan dengan kondisi yang sama pula. Dan bagaimana orang menyikapi kondisi tersebut, bagi yang sabar dan mengimani hukum sebab akibat akan menganggapnya ujian sementara bagi yang tidak akan menganggapnya hukuman. Bukan sebaliknya.
Pada akhirnya, menurut saya Tuhan tidak boleh bekerja secara misterius. Tuhan bekerja dengan aturan yang sangat jelas. Karena bagaimana bisa mengimani sesuatu yang substansinya tidak diketahui. Bagaimana bisa bekerja dan berharap, kalau bekerja sesuai SOP pun hasilnya tidak jelas.
31 Januari 2014
Pulang Jumatan
No comments:
Post a Comment