Kita gemar mengutuki pidana korupsi. Menurut survey dari sumber yang tidak kredibel tapi saya ga punya waktu lain untuk mencari sumber yang lebih kredibel sebanyak 52,4% dari 8000 responden bahkan mengatakan hukuman mati adalah hukuman yang pantas untuk pidana korupsi. Tingkat kemurkaan kita pada korupsi. Kenapa korupsi? Kenapa bukan tindak kejahatan lain? Entahlah. Mari tidak mempertanyakan motif ketikan gerakannya baik. Dan isu korupsi, pemberantasan korupsi atau bahkan hanya sebatas keterlibatan korupsi dan kemungkinan korupsi menjadi salah satu bahan pertimbangan di masa pemilihan ini.
Tapi terlepas dari itu, korupsi di Indonesia menurut saya sudah lebih dari batas korupsi personal. Korupsi yang terjadi bukan hanya karena ingin dan ada kesempatan. Tetapi karena harus. Ya, korupsi yang terjadi adalah korupsi sistemik. Indeks persepsi korupsi Indonesia, yang kalau disingkat IPK, ouch, adalah peringkat 114 dari 177 negara. (www.transparency.org). Dengan nilai 32 dari seratus. Indeks persepsi korupsi ini adalah angka penilaian terhadap tindak korupsi yang dilakukan oleh sektor publik di suatu negara dinilai dari besar, jumlah kasus, dan dampaknya. Dan Indonesia adalah 30% terbawah. Kalau dikelas yang isinya 40 orang kita peringkat 27-28. Ga akan dapat SNMPTN Undangan. Di negara yang sila pertama landasan idiilnya bunyinya "KETUHANAN YANG MAHA ESA". Ya begitulah.
Korupsi sendiri menjadi kabur batasannya di kehidupan sehari-hari. Bukan-bukan karena korupsi tidak jelas definisinya. Coba tanyakan pada diri masing-masing apa definisi korupsi? Di UU no 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Korupsi unsur korupsi ada 3 yaitu : 1. menggunakan jabatan. 2. Memperkaya diri atau golongan. 3. merugikan negara. Definisinya cukup jelas. Tapi yang terjadi adalah pemakluman dan pembiaran.
Dimulai dari hal kecil, pembiaran terhadap korupsi banyak terjadi. Malah mungkin kita yang lakukan. Saya, pribadi, kemudian tanpa sadar juga telah beberapa kali melakukan dan menyaksikan tindak korupsi.
Contoh kecilnya misalkan dulu, ibu saya pernah menjabat sebagai wali kelas di SMA. Pernah, suatu hari sepulang kerja ibu saya membawa buku komik. Yang ketika ditanya dari mana adalah hasil sita dari anak muridnya. Komik itu saya baca dan tidak pernah dikembalikan. Meski sekarang juga sudah lama tidak bisa ditemukan.
Dari jenis kegiatannya, tiga unsur korupsi sudah dipenuhi. Ibu saya sebagai wali kelas, menambah kekayaannya sebanyak satu jilid komik yang seharusnya menjadi milik institusi negara yaitu sekolah. Tapi ya yang ibu saya lakukan berdasar hukum. Membawa komik memang melanggar aturan sekolah dan menjadi tugas ibu saya sebagai walikelas untuk melakukan penyitaan. Kendalanya adalah tidak pernah ada penampungan untuk barang-barang sitaan di sekolah. Dan tidak pernah ada yang menanyakan kemana semua barang sitaan itu. Tidak ada instrumen kontrol di sekolah. Karena itu ibu saya tanpa sengaja, ya saya sudah pastikan dulu dengan bertanya kenapa dibawa pulang? , tanpa sengaja membawa komik itu kerumah. Sekolah secara tidak langsung membuat sistem yang mengizinkan terjadinya korupsi.