Tentang mengemudi adalah. Ada hal-hal tentang waktu yang
tidak bisa ditukar. Sebesar apa juga bakat kita untuk mengemudi. Seberapa pun
latihan dan teori yang kita terima sebelum mulai berkendara.
Tetap, pada kilometer-kilometer pertama untuk mendahului
sebuah angkot di jalan satu arah, kita menghitung jarak dengan angkot didepan,
kecepatan laju kendaraan kita dan sisa ruang dengan mobil dari arah berlawanan.
Semua terjadi dalam tahap-tahap yang mendebarkan dan terkadang menyakitkan. Juga
ketika mengubah gigi. Dengan mata menatap penunjuk kecepatan dan putaran mesin
serta telinga mencoba mendengar deru mobil barulah otak mengambil keputusan
untuk menaikan atau menurunkan gigi sesuai dengan data yang diproses, yang
kadang butuh waktu.
Atau pernahkah kalian berbelok di satu tikungan, lalu jumlah
putaran setir dijadikan patokan untuk menentukan seberapa jauh mobil harus
berbelok? Atau dikala mundur, alih-alih menggunakan spion yang memang
diciptakan untuk memperluas pandangan tapi kita malah tetap menolehkan kepala
ke belakang lalu dengan bingung menghentikan mobil dan meminta tolong ayah
untuk turun dari mobil dan memberikan instruksi karena kita rasa ada sesuatu
yang hanya terlihat dari luar? Bahkan pada hari-hari pertama saya dengan mobil
yang memiliki kap mesin didepan sehingga mobil sering dikatakan mobil mancung,
saya menggunakan lidi diikat keatas kap mesin untuk memberi tanda kalau-kalau
hidung mobil dalam bahaya bersenggolan dengan objek lain.
Tidak peduli teori yang diajarkan ayah saya, ataupun bakat
yang mungkin saya miliki/tidak miliki untuk mengemudi, masa-masa itu terjadi. Ada
hal-hal tentang waktu yang tidak bisa ditukar. Ada pelajaran yang hanya
diberikan oleh perjalanan.
Puluhan ribu kilometer kemudian, saya sampai di tempat yang
semua pengemudi telah sampai, dan yang belum sampai pasti akan sampai. Dimana
bahwa batang kemudi hanyalah perpanjangan dari kaki kita dengan pedal gas , rem
, dan kopling adalah otot-ototnya. Spion adalah perpanjangan mata kita.
Mengganti gigi berubah dari proses algoritma yang rumit menjadi sebuah refleks
tanpa sadar. Begitu juga ketika bertemu dengan lobang lebar ditengah jalan,
tidak perlu lagi menghitung lebar badan mobil, posisi setir, sentimeter ke kiri
atau kanan yang perlu diambil agar lubang itu berada tepat di kolong mobil yang
kemudian diproses menjadi derajat batang setir yang harus diputar. Dan mobil
mengolongi lubang seperti kaki-kaki kita naik tangga. Refleks, bukan proses
pengambilan keputusan yang panjang.
Ada yang ditorehkan waktu secara permanen di lobus otak
belakang kita. Dan yang seperti itu, kemudian tidak akan mudah lupa.
Khairu Nuzula
230814
0545
bagus sekali artikelnya sangat bermanfaat
ReplyDelete