Sekarang, saya bekerja di kantor yang ada di Daerah Thamrin. Setiap hari berpergian dengan menggunakan kereta.
Sebenarnya masih terjangkau kalau mau menggunakan motor. Tapi karena malas
bermacet-macet setiap hari saya naik motor hanya sampai Stasiun Pondok Cina,
dan lanjut naik kereta. Hampir setiap hari juga saat berangkat saya mampir ke pemukiman yang
tidak jauh dari Pondok Cina. Ngapain? Ehm .
Pintu masuk menuju pemukiman tersebut melewati kampus saya.
Atau mungkin sekarang jadi mantan kampus. Eh engga, saya mantan mahasiswa di
kampus itu tapi kampus itu ga jadi mantan kampus saya. Atau iya ya? Itu saya
juga kurang paham aturan perbahasaannya.
Tapi intinya adalah di gerbang masuk ke pemukiman itu , yang
biasanya bebas dilalui kendaraan, akan ditetapkan aturan baru yang membuat gerbangnya jadi satu
arah. Peraturannya kira kira begini “ Mulai tanggal sekian gerbang ini khusus
dilalui sebagai gerbang keluar. Untuk gerbang masuk bisa menggunakan gerbang
yang ada di sana “ merujuk pada tempat lain yang jaraknya 500 meter dari
gerbang keluar. Peraturannya resmi. Ada cap kampusnya juga. Sebagai orang yang
tersistematis, yang selalu bangun di jam sama , berangkat di jam yang sama, dan
naik kereta di jam yang selalu sama agar sampai di kantor selalu tepat, tepat
jam masuk, tentunya perubahan waktu yang diakibatkan rute yang geser ini akan
berakibat panjang. 500 meter di jalan kecil itu setara dengan 5 menit yang
artinya saya harus ketinggalan kereta dan telat. Setiap hari. Ya tinggal bangun
lebih pagi sih tapi itu ga tinggal.Ga tinggal mas..
Tapi gapapa , supaya kampus lebih tertib dan terhindar dari
cabe-cabean yang menyerang ini perubahan ke arah yang lebih baik kok. Jadi kalaupun saya harus muter tiap pagi melalui rute yang lebih panjang, atas nama kebaikan dan kesejahteraan umum saya ikhlas.
Tapi yasudah, beberapa hari sebelum peraturan itu efektf
saya mencoba menghitung berapa lama pergeseran waktu yang dibutuhkan dengan
rute baru tersebut. Saya masuk lewat gerbang masuk dan keluar lewat gerbang
keluar. Sesuai peraturan baru. Semacam simulasi untuk ngukur waktu dan berapa menit saya harus bangun lebih awal. Wah lumayan juga, bisa 7-10 menit.Tapi tak apa, demi kebaikan dan kesejahteraan umum.
Eh tetapi pada hari pertama efektif peraturan tersebut
karena saya bangun kesiangan, saya jadi ga mampir ke pemukiman-dekat-kampus itu
deh, Ehm. Jadi langsung menuju stasiun. Sebagai gantinya saya mampirnya saat pulang kerja. Masuknya lewat
gerbang yang harusnya adalah gerbang keluar, karena gerbang masuknya itu lebih jauh dari stasiun dan tempat yang mau saya mampirin juga lebih dekat dari gerbang keluar. Gapapa juga. Banyak yang lewat juga. Mungkin karena sudah malam jadi longgar
peraturannya. Hari pertama juga mungkin masih masa percobaan.
Tapi besoknya, pagi saat saya mampir, dan mau masuk lewat
pintu keluar, ada petugas yang jaga di pintu. Walah kalau harus muter bisa
makan waktu lama. Pasti bakal telat. Tapi toh banyak orang yang lewat juga.
Yang masuk lewat pintu keluar. Dan didiamkan aja sama petugas yang berjaga.
Yasudah saya lewat aja deh, toh kalau melanggar pasti dilarang. Eh ternyata
enggak. Petugasnya malah menjaga motor-motor yang mau keluar untuk disuruh lewat pintu yang
lain. Loh ini kok gimana? Kebalik. Pintu keluar ga boleh dipake keluar dan malah dipake masuk?
Dan akhirnya, saya baru menyadari ada kesalahan pada logika
berpikir saya. Eh, dibilang salah juga enggak sih ya.
Jadi Peraturan “ Gerbang ini hanya dilalui sebagai gerbang
keluar “ itu. Ditulis oleh Pihak Kampus .
Ya jelas saja artinya sudut pandang yang
digunakan adalah sudut pandang orang kampus. Keluar pada peraturan itu tentunya aja keluar dari kampus. Atau
menuju pemukiman. Pintu masuk pun adalah pintu masuk ke kampus, dari lingkungan
luar yaitu lingkungan pemukiman. Karena bagi pihak kampus, tujuannya adalah
kampus. Kampus adalah bagian dalamnya.
Yang tidak saya sadari adalah saya membaca peraturan
tersebut sebagai orang yang bertujuan ke pemukiman. Bagi saya proses saya
berpindah dari kampus ke pemukiman adalah proses masuk, karena tepmat yang saya tuju adalah
pemukiman. Pemukiman adalah bagian dalamnya.
Untung saya salah ketika sedang melanggar peraturan, minus
ketemu minus kan jadinya positif. Yang saya langgar adalah peraturan yang salah jadinya
saya benar. Saya keluar lewat pintu keluar yang saya anggap pintu masuk.
Padahal sebenarnya mah emang pintu keluar.
Coba kalau saya lagi nurut masuk lewat pintu masuk versi saya yang menuju pemukiman, atau pintu keluar versi UI . Dicegat
petugas dimarahi karena melanggar peraturan. Pastinya saya akan berdebat dengan
galak kalau saya nurut pada peraturan. Dan saya pastinya akan menolak setengah
mati untuk dikatakan salah. Betapa malunya saya kalau sampai itu terjadi. Niat
saya baik untuk masuk sesuai peraturan , niat petugas juga baik menegakkan peraturan, tapi malah beranteem
Betapa kacamata yang kita pakai dan sepatu yang kita kenakan
mempengaruhi intepretasi kita terhadap sesuatu. Hem, mungkin ini kenapa dua
argumen yang bertolakbelakang bisa diperdebatkan begitu sengit dengan kedua pihak yang ga pernah akan ingin mengalahh dan tanpa akan pernah mendapat
kesepakatan ( I am thinking about penentuan 1 ramadhan for example, but you may have various different idea that related to your troubles). Karena mereka melihat dari tempat yang berbeda. Wow, i am so deep
man.
Baiklah, selanjutnya ketika ada perbedaan pendapat terjadi,
saya akan pastikan dulu kalau saya melihat dari kacamata yang sama. Betapa
ngerinya kalau ada dua pihak yang
sebenarnya baik tapi saling konflik, bahkan berdebat bertukar bantahan dengan sengit hanya karena perbedaan sudut pandang yang
bodoh.
Semoga.
KN
031215
0604
writer's note:
This is my first writing in a while. In a very long while even. While writing is always be my escape route and my safe place, i am barely able to make time for it. I am a full-time worker now, with heavy workload and sadly tight workhour, not to mention at least 3,5 hours travel back and forth between my home and office.
Writing is my way of shaping up the alternative reality, my simulation of what ifs, my intepretation of what may happen if i behave certain way which i dont do in real life. And my thought processor to come terms with what happen in reality. Hence the name of Imaginarium
In the unknown terrority, of adulthood it is imagination that we needed the most. But it is the one that most of us lacked. And with the time that i blessed with, maybe my imaginarium cannot work in full cylinder. Maybe i cant talk about football anymore. Write whiny long love letter. Or an uncohesive poet on life.
The writing that i am capable of now maybe will sounds more bitter, more in touch with reality. Maybe this place isnt suitable to be called imaginarium anymore.
writer's note:
This is my first writing in a while. In a very long while even. While writing is always be my escape route and my safe place, i am barely able to make time for it. I am a full-time worker now, with heavy workload and sadly tight workhour, not to mention at least 3,5 hours travel back and forth between my home and office.
Writing is my way of shaping up the alternative reality, my simulation of what ifs, my intepretation of what may happen if i behave certain way which i dont do in real life. And my thought processor to come terms with what happen in reality. Hence the name of Imaginarium
In the unknown terrority, of adulthood it is imagination that we needed the most. But it is the one that most of us lacked. And with the time that i blessed with, maybe my imaginarium cannot work in full cylinder. Maybe i cant talk about football anymore. Write whiny long love letter. Or an uncohesive poet on life.
The writing that i am capable of now maybe will sounds more bitter, more in touch with reality. Maybe this place isnt suitable to be called imaginarium anymore.
No comments:
Post a Comment