Saya sedang menikmati makan siang
yang terlambat hari ini sambil seperti biasanya, mencerdasakan diri dengan
menyimak kejadian yang terjadi di pelosok dunia melalui media sosial ketika
sebuah pesan dari layanan pesan kilat datang. Itu adalah ayah saya yang sedang
dinas diluar kota mengirimkan foto dirinya yang sedang berada di tempat wisata didaerah
itu. Kemudian belum terbalas pesan itu tersebut datang lagi pesan yang lain. Dari
seorang teman yang berada di dufan. Dan yang dikirimkan adalah foto-fotonya
sedang menikmati berbagai wahana disana. How
fancy are social media?
Dalam dunia modern dimana batasan
jarak diperkosa, informasi menjadi sebuah aset yang berharga. Dan kita,
dengan segala sumber daya yang dimiliki, berhak dan berkeinginan untuk menggali
aset itu sebanyak-banyaknya. Murahnya gadget
dan ongkos jasa yang harus dibayar hanya mendukung berkembangnya tren ini.
Media sosial mendekatkan yang
jauh, itu benar. Jika mengingat cepat dan mudahnya informasi bisa didapatkan
sekarang, terasa sangat purba ketika dulu satu-satunya sumber informasi yang
bisa saya dapatkan adalah koran harian. Kejadian satu hari, baru bisa diketahui
satu hari setelah kejadian itu terjadi. Bahkan lagi misal ada pertandingan bola
yang dimulai jam-jam tepat sebelum koran naik cetak. Maka hasilnya baru bisa
diketahui bahkan besoknya lagi.
Dengan adanya media sosial,
selang antara peristiwa dan pemberitaan jauh dapat dikurangi. Maraknya livetweeting misalnya, memungkinkan kita
seolah benar-benar ada ditempat kejadian ketika sebenarnya kita tiduran malas
atau sedang menunggu bis. Kepekaan terhadap sekitar pun meningkat. Dan kerennya
lagi, media sosial bukan media satu arah. Tidak hanya menerima, kita pun bisa
mengutarakan pendapat. Ketersediaan hak berpendapat, media berekspresi tentu
membuat masyarakat menjadi lebih partisipatif. Kita merasa pendapat kita bisa
didengar. Hal ini dibuktikan dengan maraknya petisi-petisi online. #SaveMaster,
#SaveAru, tolak Calon hakim Daming, adalah beberapa contoh kebijakan yang
dibuat berdasarkan desakan publik melalui petisi online. Selain kemudahan
berpendapat, masyarakat merasa berdampak pula. Dan caranya mudah. Tidak
perlulah turun kejalan menduduki gedung DPR atau meng-“ocuppy wallstreet”. Masyarakat
media sosial adalah masyarakat yang vokal dan partisipatif. Kemudian reaktif.
Masyarakat menjadi reaktif
terhadap apapun isu yang beredar di media sosial. Begitu tergugah dengan sebuah
berita, dengan maksud menjadi warga negara yang peduli atau mungkin demi
pengakuan sebagai orang berpengetahuan luas segera tanggapan diisukan. Sering
tanpa revisi atau bahkan verifikasi. Kereaktifan ini membuat proses berpikir
kritis dan budaya menulis menjadi hilang sama sekali. Cepat tulis sebelum isu
ini tidak hangat lagi, begitu mungkin pola pikirnya. Tanpa mendapatkan sudut
pandang yang berimbang dan proses kritis yang dilakukan ketika seseorang
menulis, pandangan diutarakan. Dan kemudian masyarakat media sosial pun menjadi
masyarakat yang pelupa. Reaksi yang diberikan adalah impuls. Reaksi sesaat yang
karena tidak disertai pemikiran yang lebih dalam dan pengujian kebenaran menjadi cepat dilupakan. Menimpali ketika
banyak yang menimpali. Kemudian bersama-sama lupa untuk menimpali cerita yang
lain lagi.
Kemudahan berpendapat ini juga
kemudian menyebabkan pemanfaatan secara berlebih hak berbicara. Potensi yang
besar dari jumlah massa media sosial yang bisa dijangkau menyebabkan media
sosial adalah salah satu media (duh) pembentukan opini yang paling dashyat.
Tidak perlu lagi penyebaran propaganda melalui koran-koran agitasi, atau
pembacaan puisi dan pentas seni seperti saat era orde baru. Cukup dengan
mendaftar untuk mendapat akun twitter, dihembuskan lah isu-isu untuk
mengarahkan opini publik. Hasil? Ya, banyaknya akun-akun telur. Banyaknya
perang opini secara publik yang cenderung tidak memiliki arah yang jelas dan
pemenang yang pasti.
Jika masyarakat pra-media sosial
mendapat informasi yang hanya cukup untuk dikaji kebenarannya, kemudahan akses
informasi dari siapapun menyebabkan banyaknya informasi yang beredar. Kadang
terlalu banyak. Jika sebelumnya hari pertama masuk sekolah jadi ajang bertukar
cerita liburan, massa media sosial dapat dengan mudah mengetahui apa saja yang
dilakukan temannya selama liburan, dengan siapa dia berlibur, dan bahkan
sarapan apa dia sebelum berangkat sekolah. Kita menjadi kelompok orang yang
mengurangi harga privasi kita sendiri. Tidak ada batasan praktis ruang pribadi
dan ruang publik ketika semua dibagi. Jika pernah suatu waktu tahap pertama
setelah saling berkenalan adalah bercerita tentang hobi masing-masing, film apa
yang pernah ditonton. Dan proses lain untuk menjadi karib. Masyarakat media
sosial cukup bertukar nama untuk kemudian mencari segala sesuatu tentang lawan
bicaranya melalui akun media sosialnya. Apa yang menjadi rahasia pribadi jika
makan siang saja kita publikasikan?
Dan banyaknya informasi menyebabkan
kita sulit untuk menerima semua informasi yang ada secara lengkap dan
menyeluruh. Karena terlalu banyak isu yang harus kita cover. Akhirnya berita dan fakta yang diterima pun dibaca secara
cepat dan tidak seksama. Waktu yang diberikan untuk sebuah artikel menjadi
lebih pendek. Masyarakat media sosial tidak terbiasa membaca sesuatu yang lebih
panjang dari 140 karakter. Sementara, tidak ada buku yang tersusun dengan 140
karakter. Masyarakat media sosial memiliki rentang perhatian yang lebih pendek.
If it is more then one short page then it
is not worth reading. Atau diekspresikan dengan cantik menjadi frasa
ternama internet : tl;dr.
Tidak heran, dibutuhkan artikel
dengan banyak cetak tebal untuk tetap menangkap perhatian pembacanya.
Artikel-artikel dalam bentuk daftar-daftar. Percayalah, tidak ada buku teks
kuliah yang disajikan dalam bentuk seperti itu.
Kita tahu interaksi itu baik,
interaksi itu menyenangkan, didengarkan itu membuat kita merasa berharga, dan
informasi sudah menjadi kebutuhan. Media sosial memberikan kita platform untuk
hal-hal tersebut. Dengan harga apa? Kondisi seperti ini mudah ditemui pada
kegiatan berinteraksi sekarang:
Kalau kata seorang teman,
teknologi mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. That’s maybe the case, but it doesnt have to be that way. Dengan
segala kekuatannya, media sosial adalah sebuah senjata. Dan senjata digunakan
oleh manusia. Marilah menjadi pengguna media sosial yang moderat. Karena
sehebat-hebatnya teknologi komunikasi, interaksi maya tidak mampu menggantikan
interaksi nyata (setidaknya sekarang). Tentu media sosial memberikan kekuatan
kepada kita. Untuk berada di dua tempat bahkan lebih dalam waktu yang
bersamaan.
Bayangkan skenario ini:
Bayangkan ketika kita sedang
berkumpul di acara perpisahan seorang teman di Hanamasa, sambil menunggu
makanan datang kita membaca berita di Maidan Square, lalu menyimak penutupan
olimpiade musim dingin di Sochi, makanan datang. Kita pun mengambil fotonya dan
mengunggahnya ke teman kita yang kuliah di luar negeri. Tidak lupa kita
mengucapkan ulangtahun ke orangtua dirumah. Tanpa sadar kita mengorbankan waktu
terakhir bersama teman kita untuk berada di tempat lain. Kita tidak berada
disana. Dan bagaimana kita bisa berada dibanyak tempat jika kita sebenarnya tidak berada
dimana-mana?
No comments:
Post a Comment