Labels

Thursday, February 27, 2014

Hidup Setelah Media Sosial

Saya sedang menikmati makan siang yang terlambat hari ini sambil seperti biasanya, mencerdasakan diri dengan menyimak kejadian yang terjadi di pelosok dunia melalui media sosial ketika sebuah pesan dari layanan pesan kilat datang. Itu adalah ayah saya yang sedang dinas diluar kota mengirimkan foto dirinya yang sedang berada di tempat wisata didaerah itu. Kemudian belum terbalas pesan itu tersebut datang lagi pesan yang lain. Dari seorang teman yang berada di dufan. Dan yang dikirimkan adalah foto-fotonya sedang menikmati berbagai wahana disana. How fancy are social media?

Dalam dunia modern dimana batasan jarak diperkosa, informasi menjadi sebuah aset yang berharga. Dan kita, dengan segala sumber daya yang dimiliki, berhak dan berkeinginan untuk menggali aset itu sebanyak-banyaknya. Murahnya gadget dan ongkos jasa yang harus dibayar  hanya mendukung berkembangnya tren ini.


Media sosial mendekatkan yang jauh, itu benar. Jika mengingat cepat dan mudahnya informasi bisa didapatkan sekarang, terasa sangat purba ketika dulu satu-satunya sumber informasi yang bisa saya dapatkan adalah koran harian. Kejadian satu hari, baru bisa diketahui satu hari setelah kejadian itu terjadi. Bahkan lagi misal ada pertandingan bola yang dimulai jam-jam tepat sebelum koran naik cetak. Maka hasilnya baru bisa diketahui bahkan besoknya lagi.

Dengan adanya media sosial, selang antara peristiwa dan pemberitaan jauh dapat dikurangi. Maraknya livetweeting misalnya, memungkinkan kita seolah benar-benar ada ditempat kejadian ketika sebenarnya kita tiduran malas atau sedang menunggu bis. Kepekaan terhadap sekitar pun meningkat. Dan kerennya lagi, media sosial bukan media satu arah. Tidak hanya menerima, kita pun bisa mengutarakan pendapat. Ketersediaan hak berpendapat, media berekspresi tentu membuat masyarakat menjadi lebih partisipatif. Kita merasa pendapat kita bisa didengar. Hal ini dibuktikan dengan maraknya petisi-petisi online. #SaveMaster, #SaveAru, tolak Calon hakim Daming, adalah beberapa contoh kebijakan yang dibuat berdasarkan desakan publik melalui petisi online. Selain kemudahan berpendapat, masyarakat merasa berdampak pula. Dan caranya mudah. Tidak perlulah turun kejalan menduduki gedung DPR atau meng-“ocuppy wallstreet”. Masyarakat media sosial adalah masyarakat yang vokal dan partisipatif. Kemudian reaktif.

Masyarakat menjadi reaktif terhadap apapun isu yang beredar di media sosial. Begitu tergugah dengan sebuah berita, dengan maksud menjadi warga negara yang peduli atau mungkin demi pengakuan sebagai orang berpengetahuan luas segera tanggapan diisukan. Sering tanpa revisi atau bahkan verifikasi. Kereaktifan ini membuat proses berpikir kritis dan budaya menulis menjadi hilang sama sekali. Cepat tulis sebelum isu ini tidak hangat lagi, begitu mungkin pola pikirnya. Tanpa mendapatkan sudut pandang yang berimbang dan proses kritis yang dilakukan ketika seseorang menulis, pandangan diutarakan. Dan kemudian masyarakat media sosial pun menjadi masyarakat yang pelupa. Reaksi yang diberikan adalah impuls. Reaksi sesaat yang karena tidak disertai pemikiran yang lebih dalam dan pengujian kebenaran  menjadi cepat dilupakan. Menimpali ketika banyak yang menimpali. Kemudian bersama-sama lupa untuk menimpali cerita yang lain lagi.

Kemudahan berpendapat ini juga kemudian menyebabkan pemanfaatan secara berlebih hak berbicara. Potensi yang besar dari jumlah massa media sosial yang bisa dijangkau menyebabkan media sosial adalah salah satu media (duh) pembentukan opini yang paling dashyat. Tidak perlu lagi penyebaran propaganda melalui koran-koran agitasi, atau pembacaan puisi dan pentas seni seperti saat era orde baru. Cukup dengan mendaftar untuk mendapat akun twitter, dihembuskan lah isu-isu untuk mengarahkan opini publik. Hasil? Ya, banyaknya akun-akun telur. Banyaknya perang opini secara publik yang cenderung tidak memiliki arah yang jelas dan pemenang yang pasti.

Jika masyarakat pra-media sosial mendapat informasi yang hanya cukup untuk dikaji kebenarannya, kemudahan akses informasi dari siapapun menyebabkan banyaknya informasi yang beredar. Kadang terlalu banyak. Jika sebelumnya hari pertama masuk sekolah jadi ajang bertukar cerita liburan, massa media sosial dapat dengan mudah mengetahui apa saja yang dilakukan temannya selama liburan, dengan siapa dia berlibur, dan bahkan sarapan apa dia sebelum berangkat sekolah. Kita menjadi kelompok orang yang mengurangi harga privasi kita sendiri. Tidak ada batasan praktis ruang pribadi dan ruang publik ketika semua dibagi. Jika pernah suatu waktu tahap pertama setelah saling berkenalan adalah bercerita tentang hobi masing-masing, film apa yang pernah ditonton. Dan proses lain untuk menjadi karib. Masyarakat media sosial cukup bertukar nama untuk kemudian mencari segala sesuatu tentang lawan bicaranya melalui akun media sosialnya. Apa yang menjadi rahasia pribadi jika makan siang saja kita publikasikan?

Dan banyaknya informasi menyebabkan kita sulit untuk menerima semua informasi yang ada secara lengkap dan menyeluruh. Karena terlalu banyak isu yang harus kita cover. Akhirnya berita dan fakta yang diterima pun dibaca secara cepat dan tidak seksama. Waktu yang diberikan untuk sebuah artikel menjadi lebih pendek. Masyarakat media sosial tidak terbiasa membaca sesuatu yang lebih panjang dari 140 karakter. Sementara, tidak ada buku yang tersusun dengan 140 karakter. Masyarakat media sosial memiliki rentang perhatian yang lebih pendek. If it is more then one short page then it is not worth reading. Atau diekspresikan dengan cantik menjadi frasa ternama internet : tl;dr.

Tidak heran, dibutuhkan artikel dengan banyak cetak tebal untuk tetap menangkap perhatian pembacanya. Artikel-artikel dalam bentuk daftar-daftar. Percayalah, tidak ada buku teks kuliah yang disajikan dalam bentuk seperti itu.

Kita tahu interaksi itu baik, interaksi itu menyenangkan, didengarkan itu membuat kita merasa berharga, dan informasi sudah menjadi kebutuhan. Media sosial memberikan kita platform untuk hal-hal tersebut. Dengan harga apa? Kondisi seperti ini mudah ditemui pada kegiatan berinteraksi sekarang:


Kalau kata seorang teman, teknologi mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. That’s maybe the case, but it doesnt have to be that way. Dengan segala kekuatannya, media sosial adalah sebuah senjata. Dan senjata digunakan oleh manusia. Marilah menjadi pengguna media sosial yang moderat. Karena sehebat-hebatnya teknologi komunikasi, interaksi maya tidak mampu menggantikan interaksi nyata (setidaknya sekarang). Tentu media sosial memberikan kekuatan kepada kita. Untuk berada di dua tempat bahkan lebih dalam waktu yang bersamaan.

Bayangkan skenario ini:
Bayangkan ketika kita sedang berkumpul di acara perpisahan seorang teman di Hanamasa, sambil menunggu makanan datang kita membaca berita di Maidan Square, lalu menyimak penutupan olimpiade musim dingin di Sochi, makanan datang. Kita pun mengambil fotonya dan mengunggahnya ke teman kita yang kuliah di luar negeri. Tidak lupa kita mengucapkan ulangtahun ke orangtua dirumah. Tanpa sadar kita mengorbankan waktu terakhir bersama teman kita untuk berada di tempat lain. Kita tidak berada disana. Dan bagaimana kita bisa berada dibanyak tempat jika kita sebenarnya tidak berada dimana-mana?





No comments:

Post a Comment