Labels

Monday, February 10, 2014

Hari Terakhir Menuju Semester Akhir

Jadi beginilah adanya. Besok adalah hari pertama semester 8, yang semoga menjadi semester terakhir saya berkuliah di UI. Terlalu banyak yang sudah dilalui untuk dikilas balikkan dalam satu kesempatan. Beberapa jadi pengalaman berharga yang mengajarkan berbagai hal, beberapa menjadi hal biasa yang memberikan kesempatan untuk pengalaman lainnya menjadi berharga. 

Sebenarnya saya sudah 3 kali mengalami wisuda. Berganti instansi pendidikan. Tapi selama perkuliahan ini. Rasanya saya benar-benar mengalami metamorfosa. Dan setelah perkuliahan ini, saya benar-benar pertama kali dihadapi pilihan. Selama ini sebelum berkuliah rasanya hidup saya sistematis. Menjadi sistematis dengan mengorbankan pilihan. Ketika sekolah tidak ada pilihan lain selain bangun jam 5 pagi dan pulang pada jam pulang sekolah. Setamat SD tidak ada pilihan lain selain masuk SMP. Lulus SMP Masuk SMA. Lulus SMA masuk universitas. Tidak ada pilihan lain selain pakai seragam yang berkesesuaian dengan hari. Kemudian, saya diperkenalkan pada ketiadaan keteraturan. 


Dan 12 tahun berada di dalam sistem, ketidakteraturan menjadi perubahan suasana yang menyenangkan. Dengan tanggungjawab yang diberikan kemudian disalah gunakan. Tidak ada lagi bangun subuh pagi setiap sepanjang minggu. Tidak harus lagi pulang pada waktu tertentu. Kemudian kelonggaran yang diberikan menjadi melebar. Berawal dari kuliah kesiangan menjadi sering tidak kuliah sama sekali. Berawal dari pulang terlalu malam, menjadi tidak pulang sama sekali. Dulu, ketika malas berangkat sekolah pun rasanya tetap harus. sekarang jika dilanda malas. Yasudah malaslah menang. Banyaknya pilihan yang diberikan akhirnya melenakkan apa yang harusnya menjadi pilihan utama ketika kuliah. Bersekolah. 

Apa saya bisa memiliki capaian lebih ketika pilihannya dibatasi? saya pikir iya. Apa saya akan menjadi pribadi yang lebih baik dengan capaian yang terbatas, mungkin iya dan mungkin juga tidak. Tetapi saya tidak pernah ingin mengulang apa yang telah saya lakukan. Perjalanan waktu tidak memihak, dan tidak juga pernah menyimpang. Jalan yang ada cuma kedepan. Dan kedepanlah saya berjalan. 

Kemudian 4 tahun terbiasa diluar sistem, saya menjadi terlalu menghinakan sistem dan keteraturan. Seolah 12 tahun menjadi sistematis lenyap tanpa sisa dalam alam bawah sadar saya. Dan lulus dari universitas akan mengantarkan saya pulang ke sistem. Rasanya belum siap. Tapi harus. Ketika harus, harusnya tidak ada pilihan belum siap. Ketiadaan pilihan yang bikin siap.

Maka mungkin baik untuk saya mulai mengembalikan hidup saya pada sistem dari sekarang. Memberi waktu untuk adaptasi, membiasakan diri. Jadi asisten praktikum, kembali mengajar privat, membuat banyak artikel, meski hanya buat, urusan dikirim lain cerita apalagi diterima. Meresensi buku. Menulis skripsi. Dan tentunya, main dota. Hanya sedikit waktu disisakan diakhir minggu yang bukan melakukan apa apa. Kecuali mengikuti pertandingan bola dan tentu saja, lebih banyak dota.

Karena hidup dalam sistem adalah hidup yang seharusnya. Sedapatnya tidak ingin pun tetap harus. Berulangkali berdiskusi dengan teman soal kerja. Melihat teman-teman senagkatan yang mulai melamar kerja pun mampu membuat bulu tangan berdiri tiap kalinya. Hari ini pun, ketika ditanya menyoal kerja rasanya ada yang belum lengkap. Bukan, bukan rasa cemas. Lebih rasa kesal karena ketidak tertarikan pada apa yang seharusnya menarik. Jawabannya selalu sama: mau kuliah lagi. tapi keinginan saya untuk melanjutkan kuliah pun jika dicoba dimaknai ulang, sebenarnya lebih ke penundaan kekalahan dibanding persiapan keberhasilan.

Karena ketika diberikan pilihan, saya menganggap kembali pada sistem adalah kekalahan. Ketidakmampuan untuk main dota kapanpun saya ingin, itu tidak bisa dibayangkan.

Saya pernah membaca artikel menarik beberapa bulan lalu yang saya bookmark sampai sekarang:

http://www.youtube.com/watch?v=dQw4w9WgXcQ

maaf salah link

http://www.npr.org/2013/10/20/238095806/when-playing-video-games-means-sitting-on-lifes-sidelines?ft=1&f=1001&utm_content=socialflow&utm_campaign=nprnews&utm_source=npr&utm_medium=twitter

Itu memberi pandangan yang menarik tentang candu kepada saya. Selama hal itu merusak kontrol yang kita miliki atas diri kita, hal itu adalah candu. Dan hidup, menurut saya, adalah candu yang paling mematikan.

Khairu Nuzula

2344
090213

No comments:

Post a Comment