Labels

Tuesday, September 30, 2014

Merangkai Kata tentang Kata

Sebagai salah seorang pengguna, saya mengerti betul apa arti dari menuangkan maksud dalam kata-kata. Bukan saja kata menjadi perantara agar orang lain mengerti apa yang ada didalam pikiran. Berkata-kata dengan baik dapat mengabadikan momen dan emosi. Misalnya saja ketika kita sedang dilanda kemarahan lalu kita tuangkan dalam bentuk kata. Waktu berselang, ketika tidak marah lagi kita mengerti seperti apa dan seberapa kita marah saat itu. Kata-kata adalah kapsul ingatan. Selain itu, tentunya kata sebagai apa yang dikatakan Aristoteles sebagai katarsis, Purgatory of emotion - penyucian perasaan.  Maka dari itu saya senang sekali membaca-baca dan mendengar-dengar kata kata dari orang lain. Dengan mendapatkan sedikit tumpahan dari perasaan mereka saya merasa lebih mampu mengenal mereka. 

Waktu kecil, barangkali berusia 4 atau 5 tahun, saya ingat saya sering menggumam kata-kata asing yang tidak memiliki arti. Barangkali ada yang melakukan hal yang sama? Entah apa tujuan saya saat itu, saya sering mengucapkan kumpulan huruf yang tidak beraturan. Susah menjelaskannya, tapi barangkali seperti meracau dalam bahasa asing. Mungkin karena kosakata saya yang terbatas untuk merangkainya menjadi sebuah kata yang berstruktur jadi yang keluar cuma bunyi-bunyi aneh tanpa arti. Baru-baru ini seiring dengan kebiasaan saya berkata-kata saya menyadari bahwa dibalik kata bukan cuma ada unsur semantik. Tapi ada unsur bunyi. Setiap suku kata memiki bunyi yang khusus - fonem. Dan merangkai kata dengan memperhatikan keteraturan maksud sambil mendapatkan bunyi yang sesuai dengan perasaan yang kita maksud itu juga memiliki kesenangan tersendiri. Sehingga bukan hanya melalui arti kata saja maksud kita sampaikan tapi juga melalui nuansa bunyi. " Mendengar ombak berdesir " adalah ketika kita sedang khidmat menikmati suasana pantaisementara " Menyimak deburan ombak" terasa lebih tegas dan penuh ambisi. Mungkin hal itu juga yang mengesankan perbedaan antara bahasa Jerman yang tegas, bahasa Prancis yang Flamboyan atau bahasa Cina yang gesit.

Monday, September 29, 2014

For You Who Wait pt.2

For all the door that i knock
But yet be the keenest of walk
But it is not what that be taken or gave
The push i need just to be brave

For the ship that built only in the head
on a high tide then it will be tested
And for the plan laid out mile per mile
Every steps we'll take to make it worthwhile

And then we walk

We walk from east to west 
while complete each other sight
And let we be the one to know best
And battle each other fights

We walk from west to east
To push planet earth against its axis
And longer be, we together
soak up and brave the weather

Walk with me when the light bends
Walk with me through rainfall
walk with me until the end, and then we walk further more
But do you mind? 
              Do you mind me at all?


KN

Friday, September 26, 2014

Apaandeh

It is still the same exact words all along.

Sorry
I apologize for giving so much that it cannot be returned. But for giving much less than enough because else it would suffocate and bleed me to death. But maybe a lesson learnt that little is more than none.

Thank You
Thank you for the wound that remind me to be more careful. For the lesson learnt and for the mark that burnt. And to tell what i really want and how to act and how to think.

Please
Please Stay. Stay like this so i have something to blame when things go awry. Stay, so i know for whom i shall focus my hate on. And i can be hate-free to others. Then be a kind person that they all deserve.

The ligh will never go out but the hatchet is buried. May we all have a good life and then i cannot careless.

Thursday, September 18, 2014

Anak Kecil yang Berteman Dengan Api Lanjutannya

Hatta, sepanjang musim itu anak kecil dan apinya main dengan bahagia. Tapi adanya hidup,  bahagia jarang berkelaluan. Bulan berlalu hingga orangtua anak kecil pulang. Mereka kaget bukan main karena mendapati ada api dirumah mereka. Cemas mereka beralasan karena api bukanlah layak untuk ada dalam rumah. Nanti kau, dan rumah mu serta ayah ibu terbakar nak - Pernah mereka mengingatkan. Namun anak kecil yang telah tumbuh terbiasa dengan apinya tidak menggubris. Akhirnya, Orangtua anak kecil pun abai. Karena untuk orangtua, tidak ada harga yang tidak bisa dibayar jika anaknya dapat senang.

Pada satu purnama, api dan anak kembali bersisian di tepian danau. Langit malam yang reduh hanya makin menekankan cahaya dari api. Di lingkungan gelap itu api hanya memiliki bulan sebagai saingannya untuk menyediakan cahaya. Bulan pun seolah tahu diri dan membiarkan api menjadi pemilik malam itu. "Orangtuamu ingin aku pergi?" tanya api, " Aku tidak ingin pergi". Anak kecil membesarkan hati api, " aku tidak akan membiarkanmu pergi".

Tetapi dengan berlalunya hari, api tumbuh semakin besar. Nyalanya semakin terang dan panasnya semakin menyengat. Arang dan abu terserak di jalan yang dilaluinya. Sementara lidahnya menjilat-jilat membakar benda-benda yang dekat. Suatu hari anak kecil dimarahi gurunya karena pergi kesekolah tanpa membawa buku pr. Bukan karena belum selesai tapi karena buku prnya hangus. Anak kecil terpaksa mengeluarkan benda-benda yang mudah terbakar keluar kamar. Ia pun harus tidur bertelanjang dada di malam hari karena kamarnya jadi gerah.

Suatu hari sepulang sekolah tidak didapati api dikamar. Anak kecil dengan sedih menghabiskan sore hingga akhirnya didapati api yang sedang menimbang untuk pergi. Rupanya dalam hati, api merasa keberadaannya menimbulkan kesulitan bagi anak kecil. Tapi anak kecil tetap tidak peduli dan dengan sayang membawa api pulang. " Jangan pergi , " pinta anak kecil pada malam itu. " Aku pun tidak ingin pergi ". Dan semalam lagi, mereka tidur. Hanya berdua di kamar yang kosong.

Anak kecil terbangun dikarenakan suara riuh dan gemuruh serta histeria diluar kamar. Ketika ia beranjak dari dipan dia menyadari bahwa seluruh rumahnya terbakar. Nadi kayu di dinding berderit akibat terpanggang. Orangtuanya berteriak memanggil nama anak kecil. Mereka tergesa-gesa menuju pintu. Mereka sudah sampai di pintu luar ketika anak kecil sadar bahwa api tidak ikut berada di luar. Anak kecil memberontak dari pegangan orangtuanya dan berlari kembali menuju rumah yang menyala. Ia menuju ke kamarnya dengan tujuan menemukan api. Didapatinya api, di pojok kamar, sedang menangis. Sambil memegang tangan anak kecil, api berkata lirih " jangan pergi, " dan mereka berdua pun hilang selamanya dibalik nyala rumah yang enggan padam.

KN
2258
180914

Monday, September 8, 2014

Anak kecil yang berteman dengan api

Syahdan, di sebuah desa terdapat anak kecil yang berteman dengan api. Kemanapun anak kecil itu pergi hampir pasti si api mengikuti. Dari bangku sekolah, hingga lapang sepakbola. Sejak fajar naik hingga terbenam di cakrawala.

Bagi anak kecil, api menyediakan kehangatan dan ketentraman. Bagi api anak kecil menawarkan persahabatan dan pertemanan. Hari-hari dihabiskan dengan gembira. Kadang suka kadang duka, tapi selalu banyak cerita.

Suatu hari mereka sedang duduk duduk imut di tepi danau sambil menengadah membilang bintang. Api dan anak kecil duduk berdampingan, seperti biasa. Api menawarkan kehangatan, anak kecil memberi persahabatan. 

Ingatkah kamu pertama kali kita bertemu? - adalah pertanyaan si api. Anak kecil tentunya ingat. Anak kecil belum dibebankan banyak kenangan sehingga tidak lama baginya untuk menggali lobus otaknya menemukan momen yang dimaksud. 

Saat itu musim panas, sehingga ayah ibunya yang adalah pedagang berlayar jauh ke negeri seberang meninggalkan anak kecil sendiri di desanya. Anak kecil tidak terima tapi dapat mengerti, itu bagaimanapun demi aku juga adalah mantra yang diulangnya untuk mengusir rasa sakitnya saat melihat temannya dijemput di taman bermain oleh ayah atau bundanya. Kemudian agar tidak melihat teman-temannya yang dijemput itu ia memilih bermain sendiri di tepian hutan. Cukup dalam supaya tidak perlu dilihat siapapun kalau ia main sendiri tapi tidak cukup dalam untuk tersesat. Sambil memungut jangkrik ia mendapati cahaya temaram dari balik pohon. Jingga seperti senja. Rasa penasarannya mengajaknya untuk melangkah lebih dekat. Dan si api berada disana. Duduk sendiri di tengah rimba. Dahulu tidaklah secemerlang kini. Ada sesuatu di anak kecil yang menyalakan api. Kini ia lebih bersemangat dengan lidahnya yang menjilat-jilat dan bara-bara kecil yang terus memercik dari badannya. Tapi dulu ia adalah api redup. Anak kecil belum pernah melihat api. Paling tidak api yang seperti itu. Hangatnya tidak menyengat seperti matahari. Tapi nyaman. Ia mendekatkan tangannya ke arah jilatan api itu. Hangat yang menjalar mengingatkannya pada pagi dimana ia pergi kesekolah dengan baju yang baru disetrika ibunya. Lagipula kehangatan itu terasa tulus. Maka ia bawa api itu kerumahnya yang kosong. Ia letakkan di sudut istimewa di kamarnya. Lebih dekat padanya daripada mainan-mainan yang ia paling sayang.

Bersambung dulu deh. Ada Kegiatan lain :D

KN
1157
090914

NANANANANANANA BATMAAN!

Ini ceritanya saya sedang di persimpangan karir. Ini ceritanya waktu yang formatif untuk kelanjutan hidup saya kelak. Eh tapi mah kalau persimpangan itu ada belokan dan banyak jalan yang harus diputuskan yang mana yang akan diambil. Hem, kalau gitu ini namanya tersesat di hutan ya. Tapi bukan itu yang mau diceritain sekarang.

Ada yang nasehati kalau karir itu beda sama kerja. Dan sebelum mulai berkarir, harus punya cita-cita dulu. Untuk hal yang fundamental seperti ini, sebelum berangkat harus punya ujungnya biar ga muter-muter ditengah jalan. Dan dinasehati tujuannya jangan dangkal. Bicara soal tujuan, dari mulai bisa mikir, Saya punya satu hal yang kayaknya bisa dijadiin tujuan hidup. Saya pengen menggunakan keahlian saya buat membantu orang sebanyak-banyaknya. Oh engga, engga semulia itu kok. Itu tentunya setelah saya dan keluarga saya kelak hidup berkecukupan. 

Jadilah mulai terpikir bagi saya bahwa tujuan akhirnya bisa jadi orang yang berkekuatan. Presiden mungkin? Heem, kalo jadi presiden ga bisa tidur banyak-banyak. Lagian peluangnya satu banding berapapun populasi Indonesia di 2050 nanti. Semilyar mungkin? Keleus. Apapun yang punya kekuatan dan didengar. Yang bisa merumuskan kebijakan buat bermanfaat bagi orang banyak. Kayaknya asik bikin orang senang karena usaha yang dilakukan. Kalau yang kayak gitu masuk kantor tiap hari pagi-pagi pun kayaknya ikhlas kalau bisa liat hidup orang lebih baik karena pekerjaan yang kita lakukan. Engga, ga semulia itu. Diri sendiri dan keluarga tetap harus berkecukupan dulu. Menteri kayaknya asik. Kerja di dinas propinsi. Legislator? Atau Batman?

Yaa, meski sekarang belum tau perjalanan yang harus ditempuh tapi kira-kira seperti itulah tujuannya. Maafkan lah saya yang absurd ini. Tapi tujuan itu, man. Pengalaman kita baru-baru ini mengajarkan pengorbanan yang orang-orang lakukan untuk sampai tujuan yang sama dengan saya. Orang melakukan pengorbanan yang tinggi untuk dapat punya kekuatan. Mungkin bukan karena ambisi, gimana pun kekuatan dan kekuasaan itu punya apa yang mungkin bisa kita sebut multiplying effect. Jadi dengan effort yang sama, kalau punya kekuatan yang lebih besar manfaatnya pun bakal lebih besar. Mungkin tujuan mereka berebut kekuasaan itu mulia. Gatau mulianya kayak saya (diri sendiri dan keluarga dulu, tapi tulus mau bantu yang lain kok) apa ngga. Tapi pengorbanannya itu.

Kita lihat pribadi-pribadi percontohan itu berbohong, mengelak, menjilat ludah sendiri, menyalahgunakan hak, mencuri hak orang lain. Kita lihat pribadi-pribadi percontohan itu, menurut saya, mengkompromikan hal-hal yang mereka bela selama ini demi dapat kesempatan untuk membela dengan lebih sengit hal-hal tersebut. Maaf kalau salah nangkep tapi sampai sekarang nangkepnya begitu. Tujuannya mulia, berangkat dari keinginan yang mulia. Tapi dengan lewat jalan yang begitu gelap dan berkabut, apa seseorang bisa sampai disana? Apa kebaikan bisa dicapai dengan jalan yang kurang baik.

Mengingat kalau pribadi-pribadi percontohan yang menempuh jalan itu rasanya berarti mungkin memang tidak ada jalan lain untuk sampai ke tujuan itu. Kalau begitu adanya, masihkah jalan itu pantas untuk ditempuh. 

Gatau pasti juga, mungkin memang jalan seperti itulah yang ditawarkan sistem propinsi dan negara ini sekarang. Kalau ga mau ikutan ya gabakal menang. kalau gamau mencontoh mereka yang punya kekuasaan ya gabakal punya kekuasaan. Mungkin sebenarnya bisa sih diperbaiki. Tapi man, mau memperbaiki sistem itu pun pasti jalan yang menyakitkan dan lama. Apa kabar kebercukupannya saya dan keluarga saya woy. Bisa-bisa malah nanti terseret dan ikut jadi bagian dari sistem. Hih amit amit. 

Atau mungkin jalan yang bisa ditempuh selanjutnya adalah melakukan hal-hal baik tanpa ikut didalam sistem. Jadi vigilante gitu. Tapi tanpa kekuatan yang bisa dilakukan ga banyak. Kecuali batman.

Oke. Mungkin daripada jadi menteri lebih baik jadi batman.

KN
0109
080914