Di hari itu, Jumat sore yang ga
terik tapi ga mendung juga dengan angin lembut dan udara nyaman khas kampung
halaman, saya bertiga sama kakak saya dan seorang sepupu yang ga mungkin kalian
kenal, menjejakkan kaki di pasar tradisional kecamatan rumah nenek saya yang
ada di Jawa Barat tapi jauh lebih dekat ke Jawa Tengah.
Saya dengan sederhananya
mengklaim bahwa tempat itu adalah kampung saya sementara saya aja ga lahir
disitu pun tak akan pernah kesitu kecuali mama saya yang memang orang situ
membawa saya. Jadi mulai sekarang mari kita membiasakan untuk menyebut tempat
itu sebagai kampung halaman mama daripada kampung halaman.
Hari itu kami pergi ke pasar
dengan sebuah misi. Misinya adalah mencari keperluan untuk acara keluarga besar
banget hari sabtu, keluarga besar yang berasal dari 3 generasi diatas saya,
artinya ayahnya kakek saya. Dan orang jaman dulu kan anaknya banyak-banyak ya?
Kakek saya aja anak ke 6 dari 6 bersaudara. Kakaknya yang paling tua punya anak
11. Anaknya yang paling tua udah jadi kakek yang berarti udah punya cicit. Dan
itu ngumpul di satu waktu dalam acara besar halal bihalal silahturahmi saling
bermaaf-maafan.
Kalo sodara yang dari satu kakek
iya akrab tiap hari juga bisa ketemu. Nah yang dari kakak-kakaknya kakek?
Gimana mau maafin. Kenal juga engga. Yang kenal juga ketemunya dua taun sekali.
Ya pas lebaran dua taun lalu. Ya terus dosa mana yang mau dimaafin? Mungkin
dosa kenapa ga ketemu lebih sering.
Seturunnya dari mobil kami segera
masuk ke chain store yang ada disitu
dan belanja sekenanya. Ternyata masih ada yang kurang, kertas kado. Dan karena
acaranya besok, kertas kadonya harus ditemukan saat itu juga. berhubung hari
itu masih lebaran hari kedua masih banyak toko yang belum buka, pasar pun masih
sepi.
Kakak dan sepupu saya mulai
berdiskusi tentang berbagai kemungkinan. Ada usul untuk menyerah saja dan
menggunakan alternatif lain buat bungkusan. Daun pisang misalnya? Ada usul
untuk cari ditempat lain. Di kota lain maksudnya. Itu udah pasar kecamatan yak.
kalo disana aja ga ada berarti harus cari kecamatan lain, dan pusat kota yang
ada pasarnya terdekat ada di Jawa Tengah. Masa iya cari kertas kado aja harus
antarpropinsi? Ada usulan untuk tiduran di trotoar situ dan pura-pura mati.
Tidak percaya kalau seisi pasar
ga ada yang jual kertas kado saya memutuskan untuk meninggalkan perdebatan
bodoh itu dan mencari ke bagian dalam pasar. Selagi kaki-kaki saya melangkah ke
dalam pasar kecamatan itu, pikiran saya melangkah ke belakang ke tempat dengan
latar yang serupa dan berbelas-belas tahun berselang.
Hari yang ini adalah hari yang
tidak jelas apakah mendung atau cerah tapi ingatan memaksa kita untuk
memperbaiki hal-hal yang ingin diingat sehingga lebih nyaman ketika kita terpaksa
untuk bernostalgia sehingga saya, meski dengan tidak yakin, mengatakan hari itu
adalah hari yang cerah. Sore hari dengan alasan yang tidak jelas saya pergi ke
sebuah pusat perbelanjaan sama tante. Saya waktu kecil memang sering pergi sama
tante. Kalau mama masih kerja, saya dititipin ke Tante saya. Terus sering
diajak jalan-jalan juga deh.
Kalau saya tidak salah umur saya
masih 6 tahun saat itu meskipun kesadaran untuk mengingat umur belum muncul
sehingga saya juga tidak yakin berapa umur saya. Tetapi yasudahlah toh kalian
ga bisa menggugat kilas memori saya karena kalian tak pernah ada disana.
Sebagai anak yang berusia 6 tahun
itu, berjalan di pusat perbelanjaan itu sebuah pengalaman yang seru. Sampai sekarang
juga sih. Tapi dulu jauh lebih istimewa. Melihat rak-rak bersusun bertingkat-tingkat
yang besarnya mungkin 3 kali badan 6 tahun saya membuat saya merasa kerdil. Makanan-makanan
yang ingin dibeli, tapi bukan ingin dimakan. Alat-alat listrik yang fancy. Sayuran yang bahkan saya ga pernah
tau ada yang namanya lebih pantas menjadi nama ahli silat legendaris. Tapi yang
paiing mengesankan jelas aja, bagian mainan.
Tiap melewati bagian mainan saya
selalu memperlambat langkah saya dan menyentuh serta mengagumi semua mainan
yang dipajang di jejeran rak-rak raksasa. Mainan yang harga dan fungsi gunanya saya
tau terletak pada titik redundan dan ga mungkin mama ngasih saya. Jadilah
karena itu bisa jadi pertemuan saya dan terakhir dengan mainan-mainan itu saya
menikmatinya sedemikian mungkin. Saya masih inget betul mainan yang paling captivating buat saya saat itu. Mainan robot
voltron yang bisa berubah jadi binatang yang ukurannya hampir setengah badan
saya. Pertemuan mistis yang Cuma terjadi satu kali seumur hidup. Yang ternyata
ga sekali seumur hidup juga. saya bisa aja dengan mudah sekarang beli mainan
itu dengan uang jajan saya yang sekarang, tapi entah kenapa sudah tak terasa
mistis lagi. Mungkin perasaan yang ga akan ketemu lagi itu yang menjadikan
perjumpaan di bagian etalase mainan sebuah pusat perbelanjaan, lokasi yang jauh
dari nuansa mistis, yang menjadikan perjumpaan itu mistis.
Andai punya mentalitas itu tiap
ketemu orang juga. abis kalau ketemu orang dan udah terbiasa jadi suka taking things for granted. Tapi kalo
engga dianggep biasa ntar canggung. Kan enak juga untuk jadi tempat dimintain
tolong. Duh ga nyambung.
Iya pertemuan yang membengkokan
dimensi ruang dan waktu itu seolah berlangsung selamanya tapi terlalu sebentar
juga. kontradiktif memang. Tapi emang ga ada yang konsisten. Dan ketika sudah
tercabut dari dimensi khusus pertemuan saya dengan si voltron saya sadar bahwa tante
udah ga ada lagi didepan saya. Ada tante, tantenya orang. Gamau, saya mau tante
saya. Saya tersesat.
Ditengah kebingungan anak 6 tahun
itu saya mengalami pernegosiasian takdir pertama saya. Kenapa ini bisa terjadi?
Saya anak 6 tahun yang tingginya hanya sepertiga rak-rak di pusat perbelanjaan.
Kenapa dicobakan seperti ini?
Langkah pertama saya adalah
mencari solusi. Mungkin saya bisa memulai mencari tante. Tapi pusat
perbelanjaan itu terlalu besar untuk anak 6 tahun jalan-jalan sendiri. Bagaimana
kalau ketika saya mencari tante juga mencari. Dan kami tidak saling berpapasan
jalan dan berputar dalam lingkaran? Mungkin saya bisa menangis. Berharap ada
orang yang sadar bahwa ada anak hilang di pusat perbelanjaan itu dan kemudian
kasihan dan bisa membantu menemukan tante. Atau berharap mungkin tante
mendengar tangisan saya dan dapat menemukan saya.
Tapi gimana kalau tantesengaja
meninggalkan saya disitu? Apa selama ini saya nakal? Apa nilai rapot saya hasil
kerja yang memang tidak keras saya itu kurang bagus? Apa karena saya selalu
pura-pura tidur siang dan kemudian ngeluyur main ketika tante sudah tidur
beneran? Apa tante menemukan pot yang saya dan temen saya pecahkan ketika main
kasti? Apa tante saya setega itu? Kayaknya ga mungkin. Meski kadang nakal dan
males, saya pinter kok. Meski ngeluyur main juga selalu pulang sorenya biar ga
telat berangkat ngaji. Terus kenapa tante ninggalin saya? Ga mungkin ah. Pasti tante
nyariin. Tapi gimana kalo ga ketemu?
Ah ini pasti salah karyawan toko
pusat perbelanjaan ini. Mbak-mbak berambut panjang yang jerawatan itu. Memang setiap
saya kesini dia suka ngeliatin dengan pandangan yang ga enak. Mungkin dia iri
sama hidup saya. Makanya dia sengaja majang mainan voltron itu untuk menjebak
saya biar saya terpisah sama tante. Ini bapak-bapak gendut didepan saya juga
bukannya bantuin malah bercanda sama istrinya, gatau apa ini ada anak kecil
kebingungan. Duh, mana ada anak kecil lain yang ketawa-tawa sama mamanya, pasti dia ngeledek saya yang nyasar
ini.
Ah tante mana sih.
Tuhan, kenapa ini semua terjadi? Kenapa
Engkau biarkan saya terpisah dari tante. Bukankah Engkau ada supaya semua
manusia bahagia? Bukankah yang Engkau hukum orang yang bandel aja? saya emang
kadang bolos, tapi tiap senin-kamis saya ngaji sesorean untuk belajar apa yang
Kau ajarkan Tuhan.
Atau memang Tuhan tidak ada? Toh
kalau Tuhan ada Ia ga bakal membiarkan umatnya dalam penderitaan yang sangat
seperti ini. Terceraikan dari hal yang sangat penting buat saya semasa kecil
itu. Hingga akhirnya lengan saya ditarik dari belakang hingga saya bisa melihat
tante ada di hadapan saya.
“ Adek gimana sih! Jangan Jalan
Sendirian dong. Ini kan rame! Deket-deket tante aja sini!”
Kilas memori saya terhenti ketika
saya sudah sampai di sebuah toko alat tulis yang menjual kertas kado. Setelah
memborong kertas kado yang membuat penjualnya bingung, saya memutuskan untuk
kembali ke Mobil. Puas karena sudah menjadi pihak yang solutif. Sesampainya di
Mobil saya ga menemukan sepupu dan kakak saya.
Sialan, saya terpisah lagi di
pasar. bukan saya yang tersesat, mereka yang tersesat. saya telpon seluler
mereka dan bilang kalau kertas kado sudah ketemu dan saya nunggu di mobil. 14
taun kemudian, saya sudah berhenti jadi korban,
21.08
12 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment