Labels

Monday, August 12, 2013

Always a Victim

Di hari itu, Jumat sore yang ga terik tapi ga mendung juga dengan angin lembut dan udara nyaman khas kampung halaman, saya bertiga sama kakak saya dan seorang sepupu yang ga mungkin kalian kenal, menjejakkan kaki di pasar tradisional kecamatan rumah nenek saya yang ada di Jawa Barat tapi jauh lebih dekat ke Jawa Tengah. 

Saya dengan sederhananya mengklaim bahwa tempat itu adalah kampung saya sementara saya aja ga lahir disitu pun tak akan pernah kesitu kecuali mama saya yang memang orang situ membawa saya. Jadi mulai sekarang mari kita membiasakan untuk menyebut tempat itu sebagai kampung halaman mama daripada kampung halaman.


Hari itu kami pergi ke pasar dengan sebuah misi. Misinya adalah mencari keperluan untuk acara keluarga besar banget hari sabtu, keluarga besar yang berasal dari 3 generasi diatas saya, artinya ayahnya kakek saya. Dan orang jaman dulu kan anaknya banyak-banyak ya? Kakek saya aja anak ke 6 dari 6 bersaudara. Kakaknya yang paling tua punya anak 11. Anaknya yang paling tua udah jadi kakek yang berarti udah punya cicit. Dan itu ngumpul di satu waktu dalam acara besar halal bihalal silahturahmi saling bermaaf-maafan.

Kalo sodara yang dari satu kakek iya akrab tiap hari juga bisa ketemu. Nah yang dari kakak-kakaknya kakek? Gimana mau maafin. Kenal juga engga. Yang kenal juga ketemunya dua taun sekali. Ya pas lebaran dua taun lalu. Ya terus dosa mana yang mau dimaafin? Mungkin dosa kenapa ga ketemu lebih sering.

Seturunnya dari mobil kami segera masuk ke chain store yang ada disitu dan belanja sekenanya. Ternyata masih ada yang kurang, kertas kado. Dan karena acaranya besok, kertas kadonya harus ditemukan saat itu juga. berhubung hari itu masih lebaran hari kedua masih banyak toko yang belum buka, pasar pun masih sepi.

Kakak dan sepupu saya mulai berdiskusi tentang berbagai kemungkinan. Ada usul untuk menyerah saja dan menggunakan alternatif lain buat bungkusan. Daun pisang misalnya? Ada usul untuk cari ditempat lain. Di kota lain maksudnya. Itu udah pasar kecamatan yak. kalo disana aja ga ada berarti harus cari kecamatan lain, dan pusat kota yang ada pasarnya terdekat ada di Jawa Tengah. Masa iya cari kertas kado aja harus antarpropinsi? Ada usulan untuk tiduran di trotoar situ dan pura-pura mati.

Tidak percaya kalau seisi pasar ga ada yang jual kertas kado saya memutuskan untuk meninggalkan perdebatan bodoh itu dan mencari ke bagian dalam pasar. Selagi kaki-kaki saya melangkah ke dalam pasar kecamatan itu, pikiran saya melangkah ke belakang ke tempat dengan latar yang serupa dan berbelas-belas tahun berselang.

Hari yang ini adalah hari yang tidak jelas apakah mendung atau cerah tapi ingatan memaksa kita untuk memperbaiki hal-hal yang ingin diingat sehingga lebih nyaman ketika kita terpaksa untuk bernostalgia sehingga saya, meski dengan tidak yakin, mengatakan hari itu adalah hari yang cerah. Sore hari dengan alasan yang tidak jelas saya pergi ke sebuah pusat perbelanjaan sama tante. Saya waktu kecil memang sering pergi sama tante. Kalau mama masih kerja, saya dititipin ke Tante saya. Terus sering diajak jalan-jalan juga deh.

Kalau saya tidak salah umur saya masih 6 tahun saat itu meskipun kesadaran untuk mengingat umur belum muncul sehingga saya juga tidak yakin berapa umur saya. Tetapi yasudahlah toh kalian ga bisa menggugat kilas memori saya karena kalian tak pernah ada disana.

Sebagai anak yang berusia 6 tahun itu, berjalan di pusat perbelanjaan itu sebuah pengalaman yang seru. Sampai sekarang juga sih. Tapi dulu jauh lebih istimewa. Melihat rak-rak bersusun bertingkat-tingkat yang besarnya mungkin 3 kali badan 6 tahun saya membuat saya merasa kerdil. Makanan-makanan yang ingin dibeli, tapi bukan ingin dimakan. Alat-alat listrik yang fancy. Sayuran yang bahkan saya ga pernah tau ada yang namanya lebih pantas menjadi nama ahli silat legendaris. Tapi yang paiing mengesankan jelas aja, bagian mainan.

Tiap melewati bagian mainan saya selalu memperlambat langkah saya dan menyentuh serta mengagumi semua mainan yang dipajang di jejeran rak-rak raksasa. Mainan yang harga dan fungsi gunanya saya tau terletak pada titik redundan dan ga mungkin mama ngasih saya. Jadilah karena itu bisa jadi pertemuan saya dan terakhir dengan mainan-mainan itu saya menikmatinya sedemikian mungkin. Saya masih inget betul mainan yang paling captivating buat saya saat itu. Mainan robot voltron yang bisa berubah jadi binatang yang ukurannya hampir setengah badan saya. Pertemuan mistis yang Cuma terjadi satu kali seumur hidup. Yang ternyata ga sekali seumur hidup juga. saya bisa aja dengan mudah sekarang beli mainan itu dengan uang jajan saya yang sekarang, tapi entah kenapa sudah tak terasa mistis lagi. Mungkin perasaan yang ga akan ketemu lagi itu yang menjadikan perjumpaan di bagian etalase mainan sebuah pusat perbelanjaan, lokasi yang jauh dari nuansa mistis, yang menjadikan perjumpaan itu mistis.


Andai punya mentalitas itu tiap ketemu orang juga. abis kalau ketemu orang dan udah terbiasa jadi suka taking things for granted. Tapi kalo engga dianggep biasa ntar canggung. Kan enak juga untuk jadi tempat dimintain tolong. Duh ga nyambung.


Iya pertemuan yang membengkokan dimensi ruang dan waktu itu seolah berlangsung selamanya tapi terlalu sebentar juga. kontradiktif memang. Tapi emang ga ada yang konsisten. Dan ketika sudah tercabut dari dimensi khusus pertemuan saya dengan si voltron saya sadar bahwa tante udah ga ada lagi didepan saya. Ada tante, tantenya orang. Gamau, saya mau tante saya. Saya tersesat.

Ditengah kebingungan anak 6 tahun itu saya mengalami pernegosiasian takdir pertama saya. Kenapa ini bisa terjadi? Saya anak 6 tahun yang tingginya hanya sepertiga rak-rak di pusat perbelanjaan. Kenapa dicobakan seperti ini?

Langkah pertama saya adalah mencari solusi. Mungkin saya bisa memulai mencari tante. Tapi pusat perbelanjaan itu terlalu besar untuk anak 6 tahun jalan-jalan sendiri. Bagaimana kalau ketika saya mencari tante juga mencari. Dan kami tidak saling berpapasan jalan dan berputar dalam lingkaran? Mungkin saya bisa menangis. Berharap ada orang yang sadar bahwa ada anak hilang di pusat perbelanjaan itu dan kemudian kasihan dan bisa membantu menemukan tante. Atau berharap mungkin tante mendengar tangisan saya dan dapat menemukan saya.

Tapi gimana kalau tantesengaja meninggalkan saya disitu? Apa selama ini saya nakal? Apa nilai rapot saya hasil kerja yang memang tidak keras saya itu kurang bagus? Apa karena saya selalu pura-pura tidur siang dan kemudian ngeluyur main ketika tante sudah tidur beneran? Apa tante menemukan pot yang saya dan temen saya pecahkan ketika main kasti? Apa tante saya setega itu? Kayaknya ga mungkin. Meski kadang nakal dan males, saya pinter kok. Meski ngeluyur main juga selalu pulang sorenya biar ga telat berangkat ngaji. Terus kenapa tante ninggalin saya? Ga mungkin ah. Pasti tante nyariin. Tapi gimana kalo ga ketemu?

Ah ini pasti salah karyawan toko pusat perbelanjaan ini. Mbak-mbak berambut panjang yang jerawatan itu. Memang setiap saya kesini dia suka ngeliatin dengan pandangan yang ga enak. Mungkin dia iri sama hidup saya. Makanya dia sengaja majang mainan voltron itu untuk menjebak saya biar saya terpisah sama tante. Ini bapak-bapak gendut didepan saya juga bukannya bantuin malah bercanda sama istrinya, gatau apa ini ada anak kecil kebingungan. Duh, mana ada anak kecil lain yang ketawa-tawa sama  mamanya, pasti dia ngeledek saya yang nyasar ini.

Ah tante mana sih.

Tuhan, kenapa ini semua terjadi? Kenapa Engkau biarkan saya terpisah dari tante. Bukankah Engkau ada supaya semua manusia bahagia? Bukankah yang Engkau hukum orang yang bandel aja? saya emang kadang bolos, tapi tiap senin-kamis saya ngaji sesorean untuk belajar apa yang Kau ajarkan Tuhan.

Atau memang Tuhan tidak ada? Toh kalau Tuhan ada Ia ga bakal membiarkan umatnya dalam penderitaan yang sangat seperti ini. Terceraikan dari hal yang sangat penting buat saya semasa kecil itu. Hingga akhirnya lengan saya ditarik dari belakang hingga saya bisa melihat tante ada di hadapan saya.

“ Adek gimana sih! Jangan Jalan Sendirian dong. Ini kan rame! Deket-deket tante aja sini!”

Kilas memori saya terhenti ketika saya sudah sampai di sebuah toko alat tulis yang menjual kertas kado. Setelah memborong kertas kado yang membuat penjualnya bingung, saya memutuskan untuk kembali ke Mobil. Puas karena sudah menjadi pihak yang solutif. Sesampainya di Mobil saya ga menemukan sepupu dan kakak saya.

Sialan, saya terpisah lagi di pasar. bukan saya yang tersesat, mereka yang tersesat. saya telpon seluler mereka dan bilang kalau kertas kado sudah ketemu dan saya nunggu di mobil. 14 taun kemudian, saya sudah berhenti jadi korban,

21.08
12 Agustus 2013


No comments:

Post a Comment