Labels

Thursday, September 5, 2013

Allegory of ..... Something (Perhaps Tyrant)

A post at least. Pardon for the hiatus. Been Busy Holiday-ing. Now this should be good.

Coba sekarang bayangkan sesuatu duniawi yang anda sukai. Sesuatu yang penting menurut anda, tapi anda tahu tidak boleh dipaksakan menjadi penting bagi orang lain tapi anda tahu orang lain juga ga boleh maksa anda untuk menyukai itu. Hal yang anda rela keluarkan uang lebih untuk mendapatkannya. Anda membayangkan apa yang saya bayangkan? Ganja? Jangan dulu. Belum legal. Saya membayangkan cakwe. Sama? Bagus!


Sekarang bayangkan anda biasa membeli cakwe, sebagai sebuah bentuk kesenangan duniawi. Dikonsumsi bersama teman-teman sambil kongkow asik. Dikonsumsi sendiri sambil ngerjain tugas kuliah seru. Ga punya uang untuk ke warteg karena belum dapet kiriman? Cakwe untuk ganjel perut.

Sekarang anggaplah saya ini sahabat anda. Sahabat cakwe yang suka kongkow bareng ngumpul-ngumpul sambil makan cakwe. Sore itu kita ingin sekali beli cakwe. Berangkatlah kita untuk membeli cakwe. Tenang, saya yang traktir. Kita beli cakwe di SD belakang ya, langganan saya. Tapi sampai sana Tukang Cakwenya udah ga ada. Udah pindah. Loh kenapa? Ah baiklah sekarang kita cari aja tukang cakwe lain.

Kok mendadak susah ya cari tukang cakwe. Tapi akhirnya dengan usaha yang keras, ketemu juga itu tukang cakwe. 5 km jauhnya dari tempat kongkow kita. Kayaknya enak nih. Bersih. Warungnya besar. Mahal pula. Pasti worth it. kita beli cakwe 2 lusin karena kita sangat suka cakwe dan kita sudah lama tidak makan cakwe. Setelah penantian yang begitu panjang dan cakwe sudah ditangan, bersiaplah kita pulang.

Tapi saat ingin beranjak, mendadak datang anak-anak berpakaian kemeja putih, celana merah pendek. Dengan lambang anak kecil, laki-laki dan perempuan, menengadahkan tangannya ke sebuah buku. Dengan Dasi bertuliskan frasa ajaib penuh falsafah “ Tut Wuri Handayani”. Lokasi terjahit di lengan kemeja. Tas bergambar Naruto dihiasi dengan termos minum tergantung terancam putus. 

Dan mereka, yang artinya banyak sekali anak-anak, membawa pentungan, godam, palu, kunci inggris dan sebagainya. Mereka mulai merusak, menghancurkan gerobak tukang cakwe. Apa yang terjadi? Saya sama bingungnya seperti anda.

Cakwe ditangan saya pun direbut dan diinjak-injak mereka. Oh tidak. Cakwe yang kita idam-idamkan itu sudah tak lagi berbentuk. Bukan artinya cakwe sebelumnya berbentuk. Tapi sekarang jadi tak berbentuk dan tidak bisa dimakan. Apa maksudnya ini?
Coba anda tanya ke mereka. Anda takut? Baiklah Saya saja yang menanyakan.

Rupanya kata mereka, di sekolah mereka ada larangan jajan diluar sekolah terutama Cakwe. Katanya, ada sahabat mereka yang sekarang di rawat karena diare dan tipus akibat Salmonella yang numpang di Cakwe. Sahabat mereka hobi sekali makan cakwe. Makanya sejak insiden itu sekolah memaklumatkan untuk tak ada lagi penjual cakwe di depan sekolah.

Baiklah, saya mengerti. Mereka mengusir tukang cakwe depan sekolah mereka karena itu pastinya menggoda bukan? Mereka yang biasa menghabiskan seluruh jajan mereka yang Cuma seperseratus pengeluaran kita perhari untuk cakwe pasti sangat menggemari cakwe. Dan ketika dilarang pasti bagian dari withdrawal syndrome mereka akan terganggu jika melihat cakwe didepan sekolah. Itu saya terima. Anda juga terima kan? Tapi kenapa cakwe yang jaraknya 4 km dari sekolah ini dihancurkan juga?

Tak cukup sampai disitu, kata mereka. Minggu ini ada teman mereka yang kembali masuk rumah sakit, karena tipes dan diare. Tebak darimana mereka terpapar? Anda pintar. Dari Cakwe. Rupanya mereka berjuang dengan membeli cakwe di tempat yang jauh. Jadi mereka memutuskan, tak ada lagi orang yang berjualan cakwe. Dimanapun. Siapapun.

Saya berkilah. Ini tidak bisa diterima bukan? Ini tentang kegagalan kalian menjaga teman kalian dalam jajan. Ini urusan internal kalian. Kami mampu mengontrol nafsu konsumsi cakwe kami hingga batas aman. Dan sekarang kami mau cakwe. Dan tidak ada siapapun, baik itu presiden, apalagi segerombolan anak SD meski bersenjatakan godam dan pentungan yang bisa melucuti kami dari hak kami. Anda sepakat dengan saya bukan? Ini Tirani!

Mereka tetap tidak mau terima. Jika mereka tidak boleh, maka siapapun tidak. Itu kata mereka. Hei nak, Kita bukan anak SD. Bukan dari SD kalian. Kita juga membeli cakwe jauh dari SD kalian. Kita tidak menggoda kalian. Ada teman kalian yang membeli cakwe? Itu salah kalian tidak bisa menjaga teman kalian. Jangan eksternal kan urusan kalian.

Mereka berdalih, berargumen soal banyaknya jumlah anak SD di Indonesia, yang perlu diselamatkan dari tipus dan diare. Ah sayang kita hanya berdua. Sudah kita sabar saja. Anda masih bisa sabar kan? Sabar. Kita cari tukang cakwe di tempat lain saja. Yang belum terjamah dari tangan anak-anak SD brutal ini.



Does the story make any sense to you? Me neither. It does for them tho.



Untung masyarakat Bali arif. Saya tidak bisa membayangkan saya dipukuli karena makan rendang ketika berlibur di pantai Kuta. 

02.59
6 September 2013

No comments:

Post a Comment