A post at least. Pardon for the hiatus. Been Busy Holiday-ing. Now this should be good.
Coba sekarang bayangkan sesuatu duniawi yang anda sukai. Sesuatu yang penting menurut anda, tapi anda tahu tidak boleh dipaksakan menjadi penting bagi orang lain tapi anda tahu orang lain juga ga boleh maksa anda untuk menyukai itu. Hal yang anda rela keluarkan uang lebih untuk mendapatkannya. Anda membayangkan apa yang saya bayangkan? Ganja? Jangan dulu. Belum legal. Saya membayangkan cakwe. Sama? Bagus!
Coba sekarang bayangkan sesuatu duniawi yang anda sukai. Sesuatu yang penting menurut anda, tapi anda tahu tidak boleh dipaksakan menjadi penting bagi orang lain tapi anda tahu orang lain juga ga boleh maksa anda untuk menyukai itu. Hal yang anda rela keluarkan uang lebih untuk mendapatkannya. Anda membayangkan apa yang saya bayangkan? Ganja? Jangan dulu. Belum legal. Saya membayangkan cakwe. Sama? Bagus!
Sekarang
bayangkan anda biasa membeli cakwe, sebagai sebuah bentuk kesenangan duniawi.
Dikonsumsi bersama teman-teman sambil kongkow asik. Dikonsumsi sendiri sambil
ngerjain tugas kuliah seru. Ga punya uang untuk ke warteg karena belum dapet
kiriman? Cakwe untuk ganjel perut.
Sekarang
anggaplah saya ini sahabat anda. Sahabat cakwe yang suka kongkow bareng
ngumpul-ngumpul sambil makan cakwe. Sore itu kita ingin sekali beli cakwe.
Berangkatlah kita untuk membeli cakwe. Tenang, saya yang traktir. Kita beli
cakwe di SD belakang ya, langganan saya. Tapi sampai sana Tukang Cakwenya udah
ga ada. Udah pindah. Loh kenapa? Ah baiklah sekarang kita cari aja tukang cakwe
lain.
Kok
mendadak susah ya cari tukang cakwe. Tapi akhirnya dengan usaha yang keras,
ketemu juga itu tukang cakwe. 5 km jauhnya dari tempat kongkow kita. Kayaknya
enak nih. Bersih. Warungnya besar. Mahal pula. Pasti worth it. kita beli cakwe 2 lusin karena kita sangat suka cakwe dan
kita sudah lama tidak makan cakwe. Setelah penantian yang begitu panjang dan
cakwe sudah ditangan, bersiaplah kita pulang.
Tapi
saat ingin beranjak, mendadak datang anak-anak berpakaian kemeja putih, celana
merah pendek. Dengan lambang anak kecil, laki-laki dan perempuan, menengadahkan
tangannya ke sebuah buku. Dengan Dasi bertuliskan frasa ajaib penuh falsafah “
Tut Wuri Handayani”. Lokasi terjahit di lengan kemeja. Tas bergambar Naruto
dihiasi dengan termos minum tergantung terancam putus.
Cakwe
ditangan saya pun direbut dan diinjak-injak mereka. Oh tidak. Cakwe yang kita
idam-idamkan itu sudah tak lagi berbentuk. Bukan artinya cakwe sebelumnya
berbentuk. Tapi sekarang jadi tak berbentuk dan tidak bisa dimakan. Apa
maksudnya ini?
Coba
anda tanya ke mereka. Anda takut? Baiklah Saya saja yang menanyakan.
Rupanya
kata mereka, di sekolah mereka ada larangan jajan diluar sekolah terutama
Cakwe. Katanya, ada sahabat mereka yang sekarang di rawat karena diare dan
tipus akibat Salmonella yang numpang di Cakwe. Sahabat mereka hobi sekali makan
cakwe. Makanya sejak insiden itu sekolah memaklumatkan untuk tak ada lagi
penjual cakwe di depan sekolah.
Baiklah,
saya mengerti. Mereka mengusir tukang cakwe depan sekolah mereka karena itu
pastinya menggoda bukan? Mereka yang biasa menghabiskan seluruh jajan mereka yang
Cuma seperseratus pengeluaran kita perhari untuk cakwe pasti sangat menggemari
cakwe. Dan ketika dilarang pasti bagian dari withdrawal syndrome mereka akan terganggu jika melihat cakwe
didepan sekolah. Itu saya terima. Anda juga terima kan? Tapi kenapa cakwe yang
jaraknya 4 km dari sekolah ini dihancurkan juga?
Tak
cukup sampai disitu, kata mereka. Minggu ini ada teman mereka yang kembali
masuk rumah sakit, karena tipes dan diare. Tebak darimana mereka terpapar? Anda
pintar. Dari Cakwe. Rupanya mereka berjuang dengan membeli cakwe di tempat yang
jauh. Jadi mereka memutuskan, tak ada lagi orang yang berjualan cakwe.
Dimanapun. Siapapun.
Saya
berkilah. Ini tidak bisa diterima bukan? Ini tentang kegagalan kalian
menjaga teman kalian dalam jajan. Ini urusan internal kalian. Kami mampu
mengontrol nafsu konsumsi cakwe kami hingga batas aman. Dan sekarang kami mau
cakwe. Dan tidak ada siapapun, baik itu presiden, apalagi segerombolan anak SD
meski bersenjatakan godam dan pentungan yang bisa melucuti kami dari hak kami.
Anda sepakat dengan saya bukan? Ini Tirani!
Mereka
tetap tidak mau terima. Jika mereka tidak boleh, maka siapapun tidak. Itu kata
mereka. Hei nak, Kita bukan anak SD. Bukan dari SD kalian. Kita juga membeli
cakwe jauh dari SD kalian. Kita tidak menggoda kalian. Ada teman kalian yang
membeli cakwe? Itu salah kalian tidak bisa menjaga teman kalian. Jangan
eksternal kan urusan kalian.
Does the story make any sense to
you? Me neither. It does for them tho.
Untung
masyarakat Bali arif. Saya tidak bisa membayangkan saya dipukuli karena makan
rendang ketika berlibur di pantai Kuta.
02.59
6 September 2013
02.59
6 September 2013
No comments:
Post a Comment